Setangkup Sedap Malam untuk Ibu
"Hilal telah tampak, besok Lebaran". Teks berjalan itu muncul dan muncul lagi di layar televisi. Lebaran dinanti oleh setiap umat, terlebih oleh mereka yang menjalani ibadah puasa Ramadhan. Kedatangan hari raya laksana garis finish yang jadi tujuan. Sebulan penuh menjalani ibadah puasa mencapai puncaknya di hari kemenangan, hari Lebaran.
Layar televisi itu terus menyala. Ragam acara yang dipenuhi iklan silih berganti tampil di sana. Semua menyajikan keceriaan, kegembiraan akan datangnya hari yang dinanti, Lebaran. Namun, suasana berbeda bercokol di sudut hati seorang pemuda, Munawir namanya.
Di kamar kost yang sempit tak henti ia menghisap rokok. Asap pembakaran tembakau keluar dari mulutnya, membumbung ke langit-langit.
"Aku harus pulang!", suara hati itu begitu kuat. Suara yang mendesak-desak dirinya untuk pulang menemui ibu yang sudah sering sakit. Usia ibu belum tergolong renta, namun deraan penyakit membuatnya terlihat lebih tua.
Tak mudah baginya untuk menemui ibu. Kang Firman, sang kakak selalu menjadi benteng yang memisahkannya dari ibu. Ia sepertinya tak ingin Munawir hadir menemui ibu. Kedatangannya dianggap hanya membuat derita ibu semakin berat.
Bukan sekali ia datang ke rumah ibu namun hanya sampai teras rumah. Kang Firman dengan siaga penuh berjaga di sana, sehingga ia harus kembali. Kembali dengan membawa kerinduan yang belum tertunaikan. Rindu pada ibu.
Pernah satu kali Munawir datang dengan sembunyi-sembunyi. Dipilihnya waktu saat "sang penjaga" itu tak berada di rumah. Namun apa lacur, ia mengetahui kedatangan sang adik. Dari kue mari yang ia bawa, dari gula dan kopi, juga dari selimut dan baju hangat yang ibu kenakan.
Masa lalu Munawir yang kelam membuat Sang Kakak membenci dirinya. Sebagai anak bontot dirinya mendapat perlakuan istimewa. Segala permintaan yang ia ungkapkan, dengan segera dipenuhi ibu. Perlakuan istimewa menjadi bumerang baginya.
Saat itu sebuah komplotan menempel ketat dirinya. Mereka mendesak Munawir untuk mencoba ganja milik mereka. Berulang kali ia menolak, namun pada akhirnya benteng pertahanan dirinya runtuh. Ia jatuh dalam pelukan barang perusak itu.
Sejak itu, Munawir menjadi konsumen loyal komplotan itu. Hari-hari yang ia jalani tak lagi berwarna cerah seperti sebelumnya. Hari ke hari ia habiskan dengan merenda mimpi semu, yang dibawa si laknat itu.
Tak ada hari tanpa kebohongan lantas ia jalani. Kepada ibu yang menyayanginya ia tak ragu untuk berbohong. Semua ia lakukan demi mendapat uang untuk menebus mimpi-mimpi semu itu. Ibu tak bisa berbuat banyak. Dalam kelemahan raganya, ibu menuruti segala permintaan Munawir.
Segala kebohongan terkuak saat Munawir diciduk polisi. Ia dijerat dalam pasal penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Bersamanya diciduk pula komplotan itu. Komplotan yang merampas hari-harinya, juga cinta kepada ibu.
Sejak itu Munawir menghuni hotel prodeo. Ia mendekam di tahanan dalam kurun cukup lama. Selama di sana, hanya ibu yang rajin membesuknya. Kakak semata wayangnya entah ke mana. Tubuh ibu yang lemah hanya mampu membuatnya membesuk di hari-hari awal ia dipenjara. Setelah itu, tak ada yang biasa menemuinya.
Diletakannya bungkusan itu dengan rapi. Di keranjang sepeda itu hanya ada jaket dan botol air minum miliknya. Peluh yang bercucur tak dihiraukannya. Dikayuhnya sepeda tua sepenuh hati. Berkilo meter ia mengayuh. Beberapa tempat ia sambangi di malam takbiran itu.
Malam itu ia menuju alamat terakhir. Kayuhannya lebih bertenaga. Seakan ia baru keluar dari toko bunga di pagi hari, saat badannya masih segar dan tenaganya masih penuh. Dipandangnya bungkusan di keranjang sepeda itu. Diperlakukannya dengan hati-hati. Sepertinya, ia tak ingin terpaan angin atau goncangan roda sepeda mengusik bungkusan itu.
Tiba di tempat yang dituju. Ia memarkir sepedanya. Digenggamnya bungkusan itu. Perasaan ragu sedikit menahan. Namun ia terus melangkah menuju pintu.
Semerbak harum Bunga Sedap Malam keluar dari bungkusan dalam dekapannya. Perlahan pintu terbuka. Seorang ibu keluar dengan tersenyum.
"Masuklah, Nak."
"Ibu tahu kamu pasti kembali".
Munawir, sang pengantar bunga itu tak mampu berdiri. Tubuhnya lunglai. Ia bersimpuh di kaki ibu. Seketika perasaannya lega. Ibu yang dirindukan kini berada di hadapan. Sementara, gema takbir bersahutan. Menyongsong hari kemenangan.