Langkah Blunder Juragan Baso
"Baso Favorit Nusantara"
Gerobak biru pedagang baso itu setiap sore datang. Berkeliling dari gang ke gang di komplek kami. Bila semua gang telah disambangi, ia mangkal di perempatan jalan. Satu dua jam ia berada di sana. Setelah itu pergi menuju tempat lain.
Gerobaknya tidak besar. Terdapat kotak kayu berkaca di atasnya. Di sini terlihat mie, taoge, dan sayuran hijau. Ada juga baso beragam ukuran dan tahu goreng. Di sampingnya teronggok panci besar yang senantiasa mengepulkan asap. Ada serbet kotak-kotak menutupi panci. Setiap saat si pedagang mengelap tangan dan mangkuk dengan serbet itu.
Setiap sore para ibu dan anak-anak remaja menunggu gerobak ini lewat. Mereka seperti tak pernah bosan makan baso setiap hari. Istriku termasuk pelanggan setia. Ia menyebut baso ini "Si Biru". Memang tak cuma satu gerobak baso warna biru. Tapi istriiku keukeuh bila yang berhak menyandang sebutan ini adalah baso langganannya ini.
Tiap datang, pedagang baso, Usep namanya, menabuh kentongan kayu. Menabuhnya dengan irama khas. Di depan rumah kami, ia sengaja menabuhnya lebih sering. Seperti dua orang yang berteman memanggil salah satu diantara mereka. Biasanya istriku segera menyahut panggilan ini. Ia bergegas dengan membawa mangkuk dari dapur.
Terkadang istriku pulang dengan cemberut. Ia tak kebagian taoge dan sayuran hijau di mangkuknya. Padahal dua sayuran itu yang disukainya. Tapi dari pada kecewa berkepanjangan, mangkuk baso itu ia nikmati juga.
Usep piawai merebut hati pelanggan. Sembari meladeni pembeli ia mengajak ngobrol. Aneka macam bahan obrolan ia kuasai. Otaknya terkesan encer dan keterampilan berkomunikasinya di atas rata-rata pedagang baso.
Usep hapal nama-nama pembeli basonya. Terutama nama anak-anak dan remaja. Setiap mengantarkan pesanan baso ke rumah-rumah, sudah pasti ia memanggil manggil dengan suara nyaring.
"Ummmarrr", ini basonya.
"Aissaahhh"