Antara Petasan dan Kepantasan
Kita tentunya masih ingat, wakil bupati Kaur yang kehilangan dua jarinya waktu menyalakan petasan. Apakah si pelaku petasan yang suka memainkan pas bulan Ramadhan ini mau kejadian seperti itu juga? Tentunya tidak bukan? Atau malah mau?
Kalau bicara petasan seperti ini, saya jadi teringat bapak saya. Alhamdulillah, beliau masih hidup sekarang dan sudah pensiun dari ASN. Ketika merayakan lebaran di kampung nenek saya atau ibu dari bapak saya, ada anak-anak yang bermain petasan. Waktu itu, suaranya betul-betul menggelegar.
Bapak saya tentu saja jengkel setengah mati dengan kelakuan anak-anak itu. Mau ada acara makan-makan ketupat di musholla terdekat, diganggu seperti itu. Membuat kaget dan sama sekali tidak nyaman.
Beliau langsung memanggil salah satu anak dengan suara yang tidak kalah keras. Raut mukanya tampak sangat garang. Anak itu dipegang dengan keras dan kalau tidak salah ingat, dijewer kupingnya. Dalam bahasa Jawa, bapak berseru seperti ini, "Sekarang nyalakan petasan itu di dekat telingamu! Dengarkan sendiri suaranya!"
Anak itu akhirnya menangis, takut, dan menjauh dari situ. Trauma juga dia. Ternyata, suara bapak saya memang bisa mengalahkan suara-suara petasan dan anak-anak itu bisa meledak juga rasa takutnya.