(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id
Ketika Warna-warni Tanglong Menyatukan Hati Kami Semua
Semarak Keragaman Ramadhan di Kota Banjarmasin
Berbeda dengan bulan-bulan lain baik di kalender bulan Hijriah maupun kalender bulan Masehi, bulan Ramadhan selalu menjadi bulan yang paling istimewa bagi masyarakat Kota Banjarmasin bahkan bagi masyarakat Kalimantan Selatan.
Selain sebagai bulan suci bagi umat Islam sebagai momentum terbaik untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menjalankan semua ibadah wajib dan Sunnah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW, bulan Ramadhan merupakan bulan paling sibuk dan paling semarak bagi masyarakat Kota Banjarmasin.
Uniknya, semua festival budaya berbalut religi Islami diatas tidak hanya melibatkan umat Islam saja, tapi semua warga Kota Banjarmasin yang memang dikenal sebagai miniatur Indonesia semuanya merasa terlibat dan dilibatkan sesuai dengan proporsinya masing-masing.
Tanglong dan Semarak Keragaman Kota Banjarmasin
Salah satu event budaya di bulan Ramadhan yang cukup unik dan melibatkan banyak komunitas di Kota Banjarmasin adalah Festival Tanglong atau tanglung, yaitu produk budaya khas Kalimantan Selatan berupa lentera yang terbuat dari kertas sebagai bentuk adaptasi dari lampion yang dibentuk sebagai replika atau miniatur dari berbagai obyek benda yang bernuansa Islami, seperti miniatur masjid Sabilal Muhtadin, tokoh berbusana muslim, rumah adat Banjar, pohon kurma, Goa hira, hingga bentuk replika unta, bekantan dan buraq.
Menurut budayawan Banjar yang juga Kompasianer Zulfaisal Putera, Tanglong berasal dari daratan Cina. Diawali oleh Maharaja Wudi bagian dari Dinasti Han (206SM-221) yang ingin merayakan kemenangan pasukannya bersama semua rakyat dengan cara mengizinkan semua rakyat untuk bersuka ria sepanjang malam di ibu kota menyaksikan pawai lampu berhias yang disebut Yuanxiaojie atau Pesta Tanglong, sejenis "Chinese Valentine's Day" yang dirayakan pada hari ke-15 disetiap bulan lunar pertama.
Tradisi tanglong, diyakini masuk ke Kalimantan Selatan seiring dengan hadirnya Islam di tanah Banjar sejak 5 (lima) abad yang lalu. Diawali dengan tradisi atau kebiasaan Badadamaran masyarakat Banjar, yaitu menyalakan sejenis obor dengan bahan bakar dari getah kayu damar di halaman rumah dan di pinggir jalan sejak malam 21 Ramadan hingga menjelang Lebaran.
Sayang tradisi badadamaran ini lambat laun ditinggalkan oleh urang banua karena ketiadaan persediaan getah damar untuk bahan bakar, akibat habisnya pohon damar ditebang oleh pembalakan liar. Untuk menyiasati, akhirnya masyarakat memanfaatkan lembaran karet kering yang disulut dengan api dalam wadah-wadah hasil kreasi dari batang pisang, pelepah daun rumbia, atau bambu.
Kreativitas yang awalnya untuk menyiasati kelangkaan damar ini, memunculkan kreativitas unik berupa wadah cantik untuk membakar karet dengan bentuk beragam seperti pesawat terbang, aneka binatang, rumah-rumahan dll. Inilah awal mula kemunculan tradisi perlombaan badadamaran.
Seiring perjalanan waktu, bahan badadamaran mulai berkembang sejak kehadiran bahan lilin dan minyak tanah yang relatif lebih mudah didapatkan. Lambat laun bahan karet kering juga ditinggalkan oleh masyarakat banua. Mereka lebih memilih memasang batang lilin dan lampu minyak tanah di wadah badadamaran.
Khusus lampu minyak tanah, masyarakat banua biasa memanfaatkan bekas botol sirup/kecap/ limun atau apa saja untuk wadah minyak tanah, sedang sumbu sumbu yang terbuat dari kain di sematkan di tutup botol yang dilubangi. Sayangnya, tradisi ini juga tidak bertahan lama, mungkin karena asapnya yang relatif mengganggu serta bahaya kebakaran yang mengintai rumah-rumah urang Banjar yang sebagian berbahan utama kayu.
Seiring masuknya listrik, akhirnya masyarakat berinisiatif untuk membuatkan tempat semacam lampion dari kertas warna-warni dan diberi lampu, yang kelak dikenal sebagai tanglong dengan warna-warni cahaya yang semarak untuk menyemarakkan sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.
Tradisi Tanglong yang Menyatukan Hati Kami
Tradisi Tanglong di Banjarmasin terbagi menjadi dua macam, yaitu Tanglong Salikuran yaitu event Tanglong yang diselenggarakan untuk menyemarakkan malam 21 Ramadan yang biasanya mengambil rute di jalanan Kota Banjarmasin.
Sedangkan jenis Tanglong satunya lagi adalah Tanglong Jukung Hias yaitu kombinasi Tanglong dengan jukung (perahu) hias yang biasanya menjadi event paling ditunggu oleh masyarakat setiap peringatan hari jadi Kota Banjarmasin. Uniknya, karena memakai jukung, maka rute pawai bukan di jalan raya kota, tapi di Sungai Martapura yang membelah Kota Banjarmasin menjadi dua bagian.
Bahan utama untuk membuat aneka tanglong adalah ragam kertas warna warni, sejumlah kain warna-warni, serta batang rotan dan bilah bambu sebagai bahan untuk kerangka. Biasanya dibutuhkan waktu antara seminggu sampai setengah bulan untuk menyelesaikan bangun tanglong (sesuai dengan ukuran dan tingkat kerumitan model) mulai dari konsep sampai bentuk jadi.
Tanglong biasanya dibuat berdasarkan teritori, bisa kelurahan atau kecamatan. Ada juga institusi, Perusahaan, organisasi pemuda/sosial atau bahkan sekolah atau lembaga pendidikan yang ada di lingkungan Kota Banjarmasin.
Tapi yang paling spesial tetap cara membuat Tanglong ala masyarakat umum baik tingkat RT/RW/kelurahan ataupun kecamatan yang biasa dikerjakan dengan cara keroyokan alias gotong royong oleh semua warga, tidak lagi memandang asal suku, agama apalagi sekedar status sosial di masyarakat.
Disini, semua warga boleh memberi usulan tema, bentuk, ukuran juga perkiraan anggaran yang kira-kira akan diperlukan untuk membuat Tanglong, karena untuk urusan pendanaan masyarakat juga melakukannya dengan cara gotong royong alias urunan atau patungan antarwarga. Keren kan!?
Semoga bermanfaat.