(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id
Jejak Diplomasi Film Religi Membumikan Islam yang Rahmatan Lil Alamin
Film Religi atau ada yang menyebutnya sebagai FIBI atau film Indonesia bertema Islam sudah sejak lama hadir di bioskop-bioskop menghibur penikmatnya di Indonesia, walaupun mungkin sebagai "genre" film, relatif baru belakangan ini tren dan gaungnya mulai santer terdengar, terutama sejak film Ayat-ayat Cinta (2008) berhasil mencuri perhatian masyarakat Nusantara.
Kehadiran tren film religi yang mengusung beragam tematik kehidupan sosial dan budaya Indonesia yang egaliter terkait sejarah, keluarga, pendidikan, bahkan juga percintaan yang sarat pesan moral berbasis keIslaman jelas bermanfaat bagi diplomasi Islam untuk membumikan jatidirinya yang rahmatan Lil Alamin.
Tidak hanya sekedar menghibur dengan beragam drama dan konflik yang dihadirkan dalam alur cerita, tapi dalam perjalanannya yang semakin berbobot, film religi hadir lebih aktual dengan potret faktual yang Indonesia banget. Disadari atau tidak, situasi ini jelas bermanfaat untuk membantu mereduksi bentuk-bentuk "kegagalan komunikasi" antar masyarakat Nusantara yang dari sono-nya memang heterogen, khususnya terkait SARA.
Baca Juga : Merindu Ramadan, "Kurikulum Langit" Penuntun Fitrah Manusia
Pasca kemerdekaan, film-film yang digagas oleh Lesbumi atau Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia, sebuah lembaga seni-budaya yang dibesarkan oleh NU, terus berusaha menghadirkan film-film bernuansa Islam melalui pendekar-pendekar perfilman ternama saat itu, seperti Usmar Ismail, Asrul Sani, Djamaluddin Malik dan juga Chaerul Umam.
Di tengah-tengah, situasi politik yang relatif belum stabil akibat benturan ideologi antar partai dan juga golongan yang begitu keras, hadirnya film-film bernuansa humanis-religius, seperti Tauhid (1964), Para Perintis Kemerdekaan (1977), Al Kautsar (1977), hingga Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982) sengaja dilahirkan, awalnya guna head to head dengan ideologi komunis yang secara massif dan agresif terus menyebarkan faham dan ideologi nya.
Di awal 90-an duet Asrul Sani dan Chaerul Umam kembali melahirkan film religi berjudul Nada dan Dakwah (1991) yang dibintangi oleh Rhoma Irama, Deddy Mizwar, KH. Zainuddin MZ, Ida Iasha dll. Memang ada perubahan tema dan sudut pandang religiusitas yang di bidik film ini jika dibanding dengan film-film religi sebelumnya.
Film ini menjadi luar biasa, tidak hanya karena hadirnya unsur musikalitas khas film-film Rhoma Irama si Raja dangdut, tapi juga karena mengusung tema baru yang cukup progressif di jamannya dan termasuk berani jika melihat waktu rilisnya saat itu. Bercerita tentang konflik kapitalisme dalam konteks konflik agraria di era rezim otoriter orde baru jelas bukan hal yang biasa bukan!?
Baca Juga : Romansa "Anak-anak Langgar" 80-an Menghidupkan Ramadan