Dua Perkara Penentu Kebaikan Manusia
Kawan, dalam kitab an-Nawaadir, Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah al-Qalyubi menyuguhkan sebuah renungan dalam kisah Luqman al-Hakim.Â
Alkisah. Pada satu waktu Luqman al-Hakim menerima ujian dari tuannya. Tuannya memintanya untuk menyembelih kambing dan mengantarkan bagian yang paling buruk dan paling kotor dari tubuh kambing itu.
Luqman al-Hakim lantas mengambil seekor kambing. Ia menggorok lehernya, menguliti, dan mengiris-irisnya sesuai dengan kebutuhan. Ia pun secara khusus mengambil bagian lidah dan hati kambing lalu mengantarkannya kepada tuannya.
Kamudian, tuannya memberinya seekor kambing lagi. Dengan tugas yang sama, kambing tersebut harus ia sembelih. Namun kali ini sang tuan menginginkan Luqman untuk membawakan bagian yang paling bagus dan paling menyehatkan dari kambing itu.
Luqman kemudian menjalankan tugasnya lagi dengan sebaik-baiknya. Kambing ia sembelih, lantas dibawakannya tuan tersebut bagian lidah dan hati. Luqman memberikan hal yang sama untuk dua jenis permintaan yang saling berlawanan.
Tuannya pun terheran-heran dengan sikap Lukman al-Hakim yang tampak aneh tersebut. Sehingga ia bertanya tentang maksud dari sikapnya tersebut, "Wahai Luqman, kenapa engkau memberikan sesuatu yang sama untuk dua jenis permintaanku yang berbeda?"Â
"Wahai tuanku, tidak ada yang lebih buruk daripada lidah dan hati bila keduanya buruk. Dan tidak ada yang lebih baik dari lidah dan hati bila keduanya baik." jawab Luqman.
Kisah ini mengungkap sebuah hikmah bahwa diantara hal paling penting dalam hidup ini adalah terjaganya hati dan lidah. Lebih dari sekadar bentuknya yang berupa daging secara fisik, hati dan lidah adalah kiasan dari nurani dan sifat manusia. Sebab keduanya dapat memberi pengaruh yang amat menentukan bagi orang lain maupun lingkungan sekitarnya. Baik itu dalam wujud yang manfaat maupun dalam bentuk madharat (kerugian).
Penjelasan tersebut sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari (52) dan imam Muslim (1599) yang menjelaskan bahwa hati merupakan pangkal dari kebaikan atau keburukan dari seluruh anggota badan. Adapun terjemah dari hadits tersebut adalah sebagai berikut:
"Ingatlah bahwa di dalam tubuh ada segumpal daging. Apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuh (tersebut). Dan manakala ia rusak maka rusaklah pula seluruh raga tersebut. Ketahuilah, bahwa ia (segumpal daging tersebut) adalah hati."
Penjelasan dari hadits ini kiranya dapat dimaknai secara luas, bukan semata hati atau jantung dalam arti fisik saja. Namun, hati dalam pengertian karakter yang menentukan sifat dasar manusia. Rusaknya hati dapat berakibat pada rusaknya amal-amal kebaikan yang datang dari semua anggota tubuh yang lain.Â
Sebab di dalam hati terkandung niat, tujuan, keinginan, dan hal-hal lain yang tidak terjangkau secara lahiriah. Namun, justru karena ia tidak tampak dan terjangkau dalam penilaian yang lahiriah inilah maka amal perbuatan seseorang pun menjadi sulit dinilai apakah ia benar-benar baik atau tidak.
Sebagai contoh, orang yang gemar mengeluarkan sedekah namun punya maksud terselubung agar mendapatkan keuntungan duniawi, seperti agar dikenal sebagai pribadi yang dermawan di mata masyarakat, mendapatkan penghargaan dari orang lain, atau keinginan untuk menaikkan kelas sosial tertentu. Secara dhahir, perbuatan sedekah tersebut adalah baik. Akan tetapi, karena diiringi dengan getaran hati yang pamrih maupun riya, maka amalan tersebut bisa jadi tidak mengandung nilai apa-apa di sisi Allah SWT. Ini adalah sekadar contoh rusaknya amal akibat rusaknya hati.
Kawan, adapun hal penting kedua yang hendaknya selalu kita perhatikan adalah ucapan kita. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa lidah tidaklah bertulang yang menggambarkan mudahnya organ tubuh yang satu ini untuk mengucapkan kata-kata. Dan sering kali anggota ini mencelakai mereka yang tidak hati-hati di dalam menggunakannya. Hal tersebut sebenarnya telah diperingatkan oleh Baginda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits beliau yang artinya sebagai berikut:
"Sungguh ada seorang hamba yang benar-benar berbicara dengan satu kalimat saja yang Allah ridhai. Hamba itu tidak menganggap kalimatnya itu penting. (Akan tetapi) sebab satu kalimatnya itu Allah pun kemudian menaikkan kedudukannya beberapa tingkat. Dan sungguh ada (juga) seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang Allah murkai. Dia tidak menganggap kalimatnya itu penting. Akan tetapi sebab satu kalimatnya itu dia terjerumus ke dalam neraka Jahannam." (HR Bukhari)
Menurut penjelasan Ibnu Hajar al-'Asqalani rahimahullah, kata "tidak menganggap penting" dalam hadits tersebut itu bisa berarti tidak memikirkan kandungan dari perkataan, dampak maupun risiko yang ditimbukannya. Ini merupakan bentuk peringatan bahwa berbicara bukan sekadar mengeluarkan kata-kata. Akan tetapi juga merupakan proses berpikir dan menimbang-nimbang. Ketika proses menimbang perkataan tersebut secara matang tidak dapat dilalui maka hal terbaik yang sebaiknya dilakukan oleh seseorang adalah diam. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh hadits Nabi Muhammad SAW yang terjemahnya sebagai berikut:
"Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berkata yang baik atau diam saja." (HR Bukhari)
Di zaman yang sangat modern saat ini perkataan manusia tidak hanya dapat keluar melalui lisan. Akan tetapi juga dapat melalui tulisan yang tersebar melalui media sosial. Dampaknya pun bisa saja sama bahkan tidak jarang lebih besar dibandingkan kata-kata dengan lisan.
Melalui media sosial, seseorang dapat menyampaikan perihal-perihal yang bermanfaat. Pun sebaliknya. Ia juga dapat menyebar berita bohong, membuka aib orang lain, memfitnah, atau menyampaikan sesuatu yang tidak berguna.
Dengan demikian, perkataan yang semula hanya dilakukan oleh lisan kita kini juga dapat dilakukan oleh jari-jari tangan kita, bahkan dengan akses penyebaran dan dampak yang lebih luas. Karena itu, sangat penting bagi kita untuk tidak hanya memikirkan apa saja yang hendak kita ucapkan namun juga kita harus berpikir secara matang tentang apa saja yang hendak kita tuliskan. Sehingga dampak dari apa yang kita pikirkan maupun yang kita renungkan tersebut tidak akan membawa dampak yang merugikan bagi pihak lain.
Semoga kita semua terhindar dari berbagai iktikad dan tindakan buruk dari seluruh anggota badan kita. Karena sesungguhnya setiap anggota tubuh kita akan dimintai pertangungjawaban di hadapan Allah SWT kelak. (*)