Memberi Maaf Sebelum Diminta
Selama Bulan Ramadhan kemarin, diantara kita mungkin saja ada yang selalu memperbanyak memohon ampunan kepada Allah SWT dengan harapan agar Dia berkenan mengampuni segala macam kesalahan dan dosa.
Hal ini dikarenakan kita selalu menyakini bahwa Dia adalah Dzat Yang Maha Mengampuni kesalahan-kesalahan dari para hamba-Nya, sebanyak dan sebesar apapun kesalahan itu.
Diantara doa yang paling masyhur kita ucapkan untuk memohon ampunan tersebut adalah:
Allahumma innaka 'afuwwun kariim tuhibbu al-'afwa fa'fu 'annii
Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Dzat Yang Maha Mulia. Engkau suka memberi maaf, maka dari itu ampunilah kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa yang ada pada diri kami.
Demikianlah maksud dari doa yang senantiasa kita wiridkan sepanjang Ramadhan kemarin.
Berbekal keyakinan kita kepada-Nya yang akan mengampuni kesalahan-kesalahan para hamba-Nya, maka hal itulah yang kemudian menjadi benteng bagi diri kita dari sikap putus asa.
Sebab kondisi dosa-dosa yang pernah kita perbuat masih akan berpeluang dihapus dan diampuni oleh-Nya setelah Dia membukakan pintu ampunan yang selebar-lebarnya kepada kita.
Maka menjadi sangat wajar jika kemudian doa tersebut seakan telah menjadi wirid kita baik ketika usai melaksanakan shalat fardhu, shalat tarawih, shalat witir maupun saat-saat lain karena begitu menggebunya harapan kita untuk dapat menghapus kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa itu.
Kawan, keadaan diri kita yang berperan sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan orang lain sudah barang tentu hal ini juga tidak terhindar dari risiko terjadinya kesalahan dan dosa.
Oleh sebab itu, sepatutnya kita senantiasa mengoreksi diri kita agar kesalahan-kesalahan maupun dosa yang mungkin saja telah kita perbuat pada orang lain tersebut tidak akan kembali berulang pada masa-masa berikutnya.
Selain itu, kita juga sepatutnya juga bersedia untuk bertanggung jawab manakala kita telah menyadari bahwa ada kesalahan yang pernah kita lakukan pada pihak lainnya.
Tanggung jawab atas kesalahan itu kita wujudkan dalam bentuk permohonan maaf dan mengganti kerugian yang barangkali diderita oleh mereka yang pernah kita zhalimi sebelumnya.
Selain itu, sepatutnya kita juga berkomitmen untuk mengganti keburukan-keburukan yang pernah kita perbuat di masa yang lalu tersebut dengan bermacam kebaikan.
Hal ini dikarenakan perbuatan baik yang dilakukan secara terus menerus maka ia akan memiliki potensi untuk menutup kesalahan-kesalahan yang pernah ada. Hal ini sebagaimana diterangkan di dalam HR at-Tirmidzi berikut:
Ittaqi Allaaha haytsu maa kunta. Wattabi' as-sayyiata al-hasanata tamhuuha wa khaaliqi an-naasa bikhuluqin hasanin.
"Bertaqwalah kepada Allah dimanapun kamu berada. Dan iringilah keburukan itu dengan kebaikan maka ia akan menutupnya. Dan pergaulilah manusia dengan perilaku yang baik."
Berbekal ikhtiar kita untuk terus berusaha mengganti perbuatan-perbuatan buruk yang pernah kita lakukan di masa lalu itu dengan kebaikan kiranya hal tersebut dapat menjadi penyemangat bagi kita bahwa akan selalu ada kesempatan untuk memperbaiki diri selama kita masih memiliki niat yang tulus untuk menjalaninya.
Selain itu, sebab adanya potensi berbuat salah dan berbuat dosa dalam berinteraksi sosial inilah maka peran kita sebagai manusia berada pada tiga keadaan, yakni memohon maaf, memberi maaf, serta ikhtiar untuk memperbaiki keadaan diri. Dan untuk menjalani ketiga keadaan tersebut sudah pasti ada halangan yang rentan akan menggagalkannya.
Memohon maaf akan sulit dilakukan jika masih ada sikap egois dan ketidaksadaran atas kesalahan diri kita. Memberi maaf pun akan sulit terjadi manakala masih ada rasa dendam yang berkecamuk di dalam hati. Sementara itu, keinginan untuk merubah diri menjadi pribadi yang lebih baik juga akan sulit terwujud manakala tidak ada niat dan upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukannya.
Akan tetapi, sebagai manusia yang berpotensi memiliki sifat turunan dari Allah Yang Maha Pengampun itu, maka sepatutnya kita juga menyadari adanya sifat turunan dari Tuhan tersebut pada diri kita.
Kita mengetahui bahwa Allah SWT merupakan Dzat Yang Maha Mengampuni kesalahan-kesalahan para hamba-Nya dan sepatutnya kita juga memahami bahwa sifat yang mulia ini juga sangat potensial terdapat pada diri kita. Sehingga kita pun akan merasa begitu ringan hati manakala diminta untuk memberikan maaf oleh sesama kita.
Begitu ringannya hati kita untuk memaafkan kesalahan orang lain itu bahkan mungkin saja kita sudah dapat melakukannya sebelum pihak yang bersalah itu bersua dengan kita untuk memohon maaf.
Hal ini dapat terjadi lantaran sebelumnya kita telah menyadari bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang memiliki sifat 'afuww atau Dzat Yang Maha Pemberi Maaf.
Oleh sebab itu, maka sebagai hamba-Nya tentu merupakan sebuah kemuliaan tersendiri bagi kita manakala kita dapat meniru sifat memberi maaf yang Allah miliki itu.
Adapun bentuk kemuliaan yang akan diperoleh seseorang yang gemar memberikan maaf kepada pihak lain itu adalah ia akan semakin dapat mendekatkan dirinya pada derajat ketaqwaan.
Dengan adanya keutamaan pada sikap mau memberikan maaf tersebut maka sudah selayaknya jika hal ini kemudian menjadi alasan yang sangat tepat bagi kita untuk mudah memaafkan siapa saja bahkan sebelum mereka sempat untuk memintanya.
Dan akhirnya, pada hari raya Idul Fitri ini marilah kita senantiasa berharap dan berikhtiar untuk memperoleh kembali kesucian pada diri kita dengan cara saling memaafkan dosa dan kesalahan diantara sesama kita. Dan marilah tradisi mulia untuk dapat saling memaafkan ini tetap kita pelihara pada waktu-waktu yang lainnya. (*)