Restorasi dan Modifikasi Hati Pasca Berakhirnya Ramadhan
Restorasi dan modifikasi ternyata tak hanya berlaku pada kendaraan saja, akan tetapi hal ini pun dapat berlaku pada hati manusia.
Pada tulisan kali ini saya akan meminjam istilah restorasi dan modifikasi yang biasanya sangat akrab di kalangan para pecinta otomotif.
Restorasi merupakan proses untuk meremajakan kembali kondisi suatu benda sehingga ia memiliki penampilan maupun kinerja seperti sedia kala. Sedangkan modifikasi lebih berfokus pada upaya untuk menyempurnakan kondisi suatu barang dengan cara merubah tampilan maupun fungsinya hingga pada batas tertentu yang sesuai dengan kehendak pemiliknya.
Dalam dunia otomotif, tentu kita sudah sangat tidak asing dua istilah tersebut. Bagi siapa saja yang punya hobi main kendaraan, lazimnya mereka akan berusaha untuk terus menjaga tampilan maupun kinerja mesin kendaraan yang mereka miliki, sehingga kondisinya akan senantiasa prima.
Bagi mereka yang sudah merasa puas dengan kondisi kendaraan seperti ketika masih baru, pada umumnya mereka akan berusaha untuk merawat dan bahkan merestorasinya--jika tersedia cukup dana--sehingga kondisinya akan selalu memberikan kenyamanan bagi pemakainya.
Sementara itu, bagi mereka yang merasa belum cukup puas dengan tampilan maupun performa kendaraan yang dimiliki, maka kemungkinan besar sang pemilik akan melakukan modifikasi dengan cara mengganti bagian-bagian tertentu sehingga keadaannya akan sesuai dengan apa yang mereka harapkan.
Menurut saya, kedua istilah ini (restorasi dan modifikasi) tidak hanya berlaku pada dunia otomotif saja. Akan tetapi, ia pun bisa berlaku untuk perihal yang lain, misalnya saja hati manusia.
Sejalan dengan bergantinya waktu, hati manusia sangat mungkin mengalami perubahan. Entah itu perubahan yang keadaannya semakin membaik atau sebaliknya. Akan tetapi, bagaimana pun arah perubahan itu, tentu mereka memiliki tujuan mendasar yang sama dalam hidup ini, yakni ingin meraih kebahagiaan.
Jika kita mau sedikit saja merenungi hidup ini, tentu kita akan lekas memahami bahwa kebahagiaan tersebut antara lain dapat diupayakan dengan cara menyelaraskan antara hati yang menentukan watak/akhlak pada diri seseorang dengan lingkungan sosial di mana ia berada.
Dan rambu-rambu untuk mewujudkan keselarasan itu sebenarnya juga telah dijabarkan dalam ajaran kebijaksanaan yang terdapat pada agama mereka. Dengan demikian, yang menjadi pertimbangan selanjutnya adalah seberapa besar kemauan kita untuk mengakses, menjelajahi, memahami dan mempraktikan ajaran agama tersebut.
Pemahaman sederhananya, dengan adanya pemahaman terhadap ajaran agama berikut pengimplementasiannya, maka siapa saja dapat memberikan kontribusi positif bagi pihak lain, alih-alih menimbulkan suasana yang dis-harmoni bagi kehidupan mereka.
Sebab, kontribusi kemanfaatan tersebut dapat dicapai manakala seseorang telah memiliki akhlaq yang telah bersesuaian dengan ajaran agama yang mereka anut dan mereka mampu untuk mengelaborasikannya dengan dinamika keadaan lingkungan yang ada, di mana dalam hal ini mereka akan berperan sebagai pemberi warna keindahan bagi kanvas kehidupan manusia yang lain.
Untuk menjalani itu semua tentu tak semudah membayangkan atau menuliskannya dalam narasi kata-kata. Sebab untuk mencapainya dibutuhkan kepekaan, akurasi jarak pandang, keluasan berpikir, kemampuan untuk memberikan tanggapan serta tindakan yang tepat atas pelbagai keadaan yang ada.
Akan tetapi, sulit dalam hal ini bukan berarti mustahil untuk diwujudkan. Sebab untuk mencapai itu semua, siapa pun dapat berpedoman pada ajaran agama yang dianut serta menelaah kisah-kisah teladan dari siapa saja yang sudah berhasil melaluinya di masa lampau.
Misalnya saja, sebagai seorang muslim, kita dapat menelaah bermacam cara untuk menjadi manusia yang shalih ini melalui keterangan yang ada di dalam Al-Qur'an.Â
Sebab di dalamnya termaktub banyak sekali kabar yang menceritakan tentang kisah-kisah para nabi maupun orang-orang shalih yang mampu mendapatkan kebahagiaan sejati karena mereka memperoleh ridha dari Tuhan.
Keridhaan tersebut dapat mereka raih sebab mereka telah melaksanakan tugas mereka dengan sebaik-baiknya sebagai seorang hamba sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Tuhan mereka.
Pun sebaliknya, tidak sedikit juga kisah di dalamnya yang menerangkan tentang keadaan para manusia yang jumawa atas kehebatan, pengalaman, kekuasaan, kekayaan serta pengaruh yang telah mereka sandang sehingga hal tersebut justru menjadikan mereka terjerembap dalam jurang kehinaan dan penderitaan di akhir kehidupan.
Dengan mentadabburi perbandingan kisah-kisah yang demikian sekiranya kita dapat menjadikannya sebagai barometer untuk dapat menentukan jalan kebahagiaan untuk diri kita sendiri berdasar pertimbangan keridhaan kita atas segala ketetapan Tuhan, sehingga kelak kita pun akan berpeluang dapat kembali kepada-Nya dalam keadaan yang diridhai oleh-Nya.
Sebagai bagian dari upaya untuk dapat meneladani kebaikan yang dianugerahkan oleh Allah untuk para kekasih-Nya ini, Allah pun telah memerintahkan kita untuk berpuasa sebagaimana puasa yang ternyata juga pernah diperintahkan untuk para hamba-Nya yang beriman di masa lalu.
Adapun di antara tujuan dari perintah melaksanakan puasa tersebut adalah agar kita memperoleh ketaqwaan sebagaimana ketaqwaan yang juga dimiliki oleh para hamba yang dikasihi-Nya.
Buah yang diharapkan akan muncul dari adanya ketaqwaan tersebut antara lain adalah kita dapat merestorasi kembali diri kita sebagai seorang hamba yang fitri atau suci, di mana kondisi ruhani kita pada sebelumnya mungkin saja sudah banyak mengalami pelapukan dan keausan seiring bergantinya zaman.
Dan alangkah lebih baik lagi manakala kita tidak hanya sekadar mampu merestorasi jiwa kita, akan tetapi kita juga mampu memodifikasi akhlaq kita dengan sedemikian rupa sehingga keadaannya akan semakin baik dari waktu ke waktu, baik kaitannya dengan relasi sosial dengan sesama kita dan lebih-lebih berkait hubungan kita dengan Sang Pencipta.
Semoga dengan hadirnya Bulan Syawwal dan berakhirnya masa bulan suci Ramadhan kali ini akan dapat mengantarkan kita sebagai hamba yang semakin sempurna ketaqwaannya di sisi Allah SWT. (*)