Bukber Sekampung tapi Tetap Hemat dan Nikmat
Saya tinggal di sebuahperkampungan. Sepertinya saya sudah cerita banyak tentang itu. Iya, saya tinggal di kota Palembang. Tapi sedari kecil saya tidak pernah tinggal di perumahan.
Nama kampungnya, Sukorejo. Kampung yang dulunya mayoritas dihuni etnis Tionghoa dan suku Jawa. Kalo sekarang sih sudah membaur. Apalagi beberapa perumahan berdiri di kampung kami.
Ya meski warga perumahan, kami menyebutnya warga komplek biasanya tidak membaur dengan warga kampung seperti kami. Bisa kami makhlumi untuk hal itu. Karena memang umumnya penduduknya silih berganti, tidak seperti kami yang menetap sampai beranak dan bercucu.
Sajak saya kecil, kebiasaan sedekah dengan gotong royong sudah ada. Malahan sekarang yang semakin memudar. Tradisi sedekah bumi ataupun tradisi kejawen yang pernah saya rasakan saat masih kecil sudah tidak dilaksanakan lagi.
Jangan tanya alasannya, saya belum membuat kajiannya mengenai hal itu.
Tetapi kebiasaan untuk bergotong royong urunan takjil untuk warga sekampung di masjid depan rumah.
Menjelang ramadan, pengurus masjid akan membagikan jadwal urunan per keluarga. biasanya per hari antara 4-5 keluarga yang urunan.
Saya beruntung, karena saya empat bersaudara tinggal di lingkungan yang sama. Jadwal saya barengan dengan kakak dan ipar-ipar saya plus satu kemenakan yang telah berkeluarga.
Jadi, kami lebih mudah kompromi untuk menentukan ta'jil apa yang akan kami sediakan, ataupun makanan berat apa yang dapat diberikan untuk jemaah masjid yang akan berbuka bersama di masjid.
Umumnya memang yang buka bersama jemaah masjid dari penduduk kampung kami sendiri, tetapi tidak melarang juga jika ada orang yang kebetulan lewat kampung kami hanya untuk singgah di masjid kami di saat berbuka.
Karena niatnya sedekah jadi bebas saja apa yang akan disajikan, tidak ada paksaan ataupun standar makanan apa yang akan kami sajikan. Jika tidak sempat membuat sendiri, di seputar masjid juga ada yang jual takjil hingga makanan berat yang dapat dipesan di sini.
Buka Bareng yang Hemat dan Nikmat dengan Tetangga
Tahun ini saya memang tengah mengurangi kegiatan buka bareng dengan kolega seperti tahun-tahun sebelumnya. Termasuk buka bareng dengan teman-teman sekolah dulu, saya lebih mengusulkan untuk diadakan halal bi halal saja.
Soal hemat, karena sebagai undangan sebenarnya sangat hemat. Undangan bukber biasanya kan sekalian ditraktir lembaga pengundang. Semua gratis dan biasanya diselenggarakan di hotel atau tempat makan all you can eat.
Tahun ini hanya dua kali saya mengikuti bukber, karena penyelenggaranya lembaga tempat saya bekerja sekarang.
He he... sebagai pekerja paruh waktu ya gak berani juga sok-sok an sombong menolak undangan bukber. He... he...
Jujur saja baru tahun ini saya mengikuti bukber di masjid depan rumah. Saya sedikit menyesal terlambat merasakan kenikmatan ini. Saya seringkali sok sibuk sehingga bertegur sapa dengan tetangga pun sangat jarang kecuali saat lebaran tiba.
Soal rasa, tentu sangat bahagia.
Berkumpul dengan tetangga menunggu waktu yang ditunggu-tunggu, azan magrib untuk berbuka bersama.
Iya sih memang tidak seluruh warga yang berkumpul, hanya sebagian saja yang menyempatkan hadir. Tetapi umumnya sesepuh kampung yang sekarang semakin sedikit dari tahun ke tahun.
Belum tentu tahun depan saya bisa bercengkrama lagu dengan mereka.
Saya memang sengaja memilih tidak masak untuk menyelenggarakan buka bersama ini. Sok sibuk saya ini.
Apa salahnya membeli dagangan tetangga yang menjajakan makanan untuk berbuka. Soal hemat? oh..hemat banget. Kami bertigapuluh berbuka puasa bersama, uang yang saya keluarkan jauh lebih murah ketimbang 3 paket all you can eat sebuah hotel di Palembang. Ada diskon khusus saat membeli cendol, aneka gorengan dan paket ayam bakar di seputar masjid .
Paling nikmat ya saat dapat bercengkrama dengan tetangga tadi, sebuah kenangan yang begitu berharga buat saya.
Kadang, kebahagiaan buka bersama itu bukan soal harga paket yang kita makan, tetapi dengan siapa kita menikmatinya.
Selamat menjalankan ibadah puasa dengan bahagia.