Sirup Marjan Sajikan Purbasari dan Lutung Kasarung
Iklan yang ditayangkan di berbagai televisi nasional mengandung dampak besar terhadap kebiasaan sehari-hari, bahkan mampu mem-brainwash orang yang menontonnya.
Dari Jurnal Komunikasi, Vol. 2, No. 1, Oktober 2007, berjudul "Membaca Iklan Televisi: Sebuah Perspektif Semiotika," menjelaskan bahwa ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bovee dan Arens di AS hingga tahun 1984, menyebutkan adanya beberapa kekuatan televisi.
Kekuatan tersebut meliputi; Mass coverage and low cost, viewer emphaty, selectivity, deep impact, creativity, prestige, dan social dominance. Upaya ini dilakukan juga melalui; the picture must tell the story, key visual, be single minded, register the name, reflect the personality, dan avoid talky commercial.
Sirup Marjan
Dalam momentum bulan Ramadan, iklan sirup marjan selalu menjadi simbol kedatangan bulan Ramadan. Apabila sudah mulai muncul iklan marjan, menandakan bahwa bulan suci Ramadan akan segera tiba. Dan itu sudah menjadi rahasia umum.
Hal ini terjadi karena rata-rata setiap keluarga menghidupkan pesawat televisinya lebih dari 20 jam perhari. Dengan demikian, jangkauan televisi (media accessibility) sebagai dampaknya begitu besar.
Maka tidak heran, pengulangan yang dilakukan oleh iklan sirup marjan setiap kedatangan bulan Ramadan menjadi simbolis menarik. Bahkan bulan Ramadan selalu dilebelkan dengan sirup marjan.
Iklan terbaru sirup marjan 2020 kali ini, menggambarkan Purbasari dan Lutung Kasarung. Dalam dunia televisi (television literacy), kita perlu mengetahui bahwa produsen iklan televisi selalu memanfaatkan sifat audio visual seperti special sound dan motion picture effect.
Hal ini, juga dilakukan dalam penanyangan iklan sirup marjan yang dikemas dengan visual dan kisah menarik. Contohnya, bagaimana tiba-tiba Purbasari dan Lutung Kasarung mendapat kutukan lalu memiliki kekuatan, hingga ketulusan hati mereka dapat mengalahkan sihir jahat.
Dari contoh di atas menunjukkan kemampuan televisi yang digabungkan dengan kreatifitas tertentu akan menghasilkan realitas kamera. Menurut teori Gerbner, ini akan dianggap sebagai realitas empiris yang benar-benar terjadi atau bisa dilakukan.
Akhirnya berdampak, yaitu masyarakat akan semakin konsumtif karena rising of expectation (meningkatkan harapan), kemungkinan juga akan menyebabkan meningkatnya rasa frustrasi (rising of frustration) karena secara ekonomi ataupun sosial tidak mempu memenuhi harapan.