Ruth Lana Monika
Ruth Lana Monika Wiraswasta

Penulis lahir di Jakarta. Seorang ibu rumah tangga yang sedang berusaha kembali mengasah talenta menulis dan belajar blogging.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

Dompet dan Kojima

20 April 2021   06:06 Diperbarui: 20 April 2021   06:16 1027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore yang sendu dan aku duduk di teras sambil menikmati aroma secangkir kopi. Kilatan-kilatan peristiwa menyerbu tanpa permisi di pikiranku, seirama dengan harumnya kopi yang menyerbak masuk. Yah, aku masih tergelitik memikirkan peristiwa kala itu. Sebuah dompet berwarna coklat tua tergeletak di bawah bangku taman, tak jauh dari tempatku duduk. Jenisnya bifold wallet dan berbentuk persegi. Aku memperhatikannya, menunggu bila ada seseorang yang mengambilnya. Tapi hanya sesekali orang lewat tak peduli. Tanpa sadar kaki ini bergerak mendekat dan melihat. Dompet ini terlihat biasa saja dari luar. Bahannya dari kulit imitasi dan terlihat usang. Ketika aku membukanya hanya ada selembar foto, KTP, dua lembar uang dua puluh ribu, dan 3 lembar kertas terlipat rapi. Aku mengantonginya dan berjalan ke alamat yang tertera di KTP.

Aku tiba di sebuah daerah perkampungan di pinggir kotaku. Kotaku ini termasuk kota yang maju, banyak gedung-gedung pencakar langit mengelilinginya, perumahan-perumahan elitpun bertebaran di kota ini, dan berbagai jenis rumah makan tersedia. Namun saat ini aku sedang menyusuri salah satu gang sempit di perkampungan kumuh kota ini. Sejauh mata mengarah hanya terlihat selokan yang penuh sampah digenangi air berwarna hitam pekat menghiasi perjalananku. Rumah-rumah berdesak-desakan saling berburu kehangatan surya. Ironis memang, di tengah-tengah kemajuan kota masih saja terdapat masyarakat terpinggirkan dengan fasilitas hidup rendah.

Ku tengok kembali alamat rumah yang tertera di KTP. Membingungkan pikirku. Alamat di tempat ini tidak dapat memberi petunjuk untukku melangkahkan kaki. Terlebih kondisi sekitar sangat sepi. Wajar saja bagiku, saat ini surya sedang membara memberikan kehangatannya kepada semesta, terlampau hangat bahkan hari ini, terlebih lagi saat ini bulan Ramadan sedang berlangsung. Banyak orang berpuasa yang memilih berada di dalam ruangan di saat tengah hari. Dengan bantuan navigasi bibir aku menuju rumah kecil di ujung gank. Tempat si empunya dompet ini tinggal. Di tempat ini mereka menyulam rindu yang saling menyilang dalam sarang semut. Aku disambut oleh seorang ibu paruh baya dan seorang anak kecil berumur sekitar 8 tahun yang merupakan istri dan anak si empunya dompet, pak Darma namanya. Aku ungkapkan maksud kedatanganku, kronologi aku menemukan dompet ini, kemudian kuserahkan dompet ini kepada mereka.

"Ini dompet bapak." ucap anak itu lirih memandang dompet.

Mata kecilnya itu bersinar menyiratkan duka. Aku tersenyum setidaknya dompet itu sudah kembali ke si empunya dan kukira tugasku sudah selesai. Namun, tiba-tiba terdengar isak tangis pecah menyayat hati. Aku tertegun diam, membeku. Tak ada suara selain tangis yang seakan bercerita. Jemari gadis kecil itu meremas kertas dari dompet itu di dadanya. Ibunya berusaha menenangkan. Diserahkan salah satu kertas itu kepadaku dan kubaca. Tiba-tiba saja kepalaku pening, pandanganku berkunang-kunang dan kupingku sumbat seperti berada di puncak bukit yang bertekanan udara rendah. Kilatan memori suara radio minggu lalu yang menyiarkan berita PHK massal PT. Bakti Utama tempatku bekerja sebagai rais menjadi momentum di kepalaku. Bagaimana cara kita menanggulangi kemiskinan? Pertanyaan itu menghantamku seketika. Kertas ini menelanjangi semua dosa korporat, teror kehidupan meremukkan hati yang menjadi muara segala kenangan dan penyesalan berbaur rindu.

"Bapak sedang sakit saat ini mas. Dompet ini hilang di hari bapak di PHK." Ujar bu Darma sambil menahan tangis.

"Sekarang bapak dirawat dimana bu?"

"Di rumah saja mas. Bapak sedang istirahat di kamar sekarang. Setelah di PHK bapak mencoba berbagai cara untuk mendapatkan penghasilan. Namun di tengah pandemi ini sangat susah mas. Bapak sempat menjadi kuli bangunan dan malamnya menjadi kuli panggul di pasar induk, jadinya bapak kelelahan. Terlebih lagi bapak tetap berusaha menjalankan puasa. Nirma merasa sedih melihat bapaknya bekerja hingga jatuh sakit seperti ini." jawab bu Darma menjelaskan

Pak Darma harus menafkahi keluarganya dengan membanting tulang kesana-kemari. Hingga dia berkeliling dunia dengan sayap patah.

"Kita bawa ke dokter saja bapak, bu. Biar saya antar. Ibu tenang saja soal biayanya, saya yang tanggung." tawarku dengan segera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun