Arsitek yang Terapis, Fotografer, menyukai menulis, eksperimen masak, tanaman, anabul, senang belajar hal baru. Buku : The Miracle of Doa, The Wonderful Sedekah
Banda Aceh, Cimahi, Ngawi, Tabanan, dan Jakarta, 'Kampung Halaman'ku yang Selalu Ngangeni
Tema Samber THR hari ke 25 : Yang Dirindukan Dari Kampung Halaman.
'Kampung Halaman' yang mana nih?
Bapak saya seorang TNI AD, jadi keluarga kami berpindah-pindah tempat tinggal sesuai kemana Bapak saya ditugaskan. Saya dan kakak-kakak saya dilahirkan di kota dan pulau berbeda, sesuai tempat penugasan Bapak.
Saya dilahirkan di Cimahi. Melalui masa kecil di Banda Aceh. Baru kemudian menetap di Jakarta. Bapak sendiri asli dari Ngawi Jawa Timur. Ibu saya asli dari Tabanan Bali.
Jadi... semua itu adalah 'kampung halaman' bagi saya, yang masing-masing menorehkan kesan dan kenangan yang selalu dirindukan.
Cimahi
Mungkin karena saya di Cimahi masih piyik, ga terlalu banyak yang saya ingat. Yang sampai sekarang masih melekat salah satunya adalah banyaknya bangunan yang oleh orang di sekitar saya disebut bangunan Belanda. Rumah-rumah dinas dan kantor Bapak jaman dulu berciri khas arsitektur kolonial : menggunakan batu alam, plafon tinggi, pintu dan jendela relatif besar. Mungkin itulah awal saya menyukai wisata sejarah bangunan-bangunan dengan arsitektur kolonial.
Saya juga menyukai udara sejuk Cimahi. Bahkan, karena lahir disana, cukup lama bagi saya untuk beradaptasi dengan udara panas di kota selanjutnya.
Banda Aceh
Rumah dinas bapak di Banda Aceh adalah rumah panggung yang terbuat dari papan. Rumah yang terletak di hook, bersebrangan dengan kantor Gubernur. Jika ada acara pawai, tamu gubernur, dan acara lainnya, saya bisa nonton dari ruang tamu rumah. Karena rumah panggung, pandangan dari ketinggian tentunya cukup bebas melihat hingga jauh. Sementara pinggir jalan depan rumah hingga halaman rumah saya biasanya dipadati warga yang ingin menonton.
Dulu, hampir tiap tahun kami kebanjiran. Alhamdulillah..., lagi-lagi karena rumah panggung, keluarga kami bisa mengungsi ke bagian rumah yang tinggi. Sementara dapur dan sumur terendam banjir. Meskipun halaman kami juga digenangi air, bisa dibilang area rumah kami termasuk yang tinggi. Sehingga seringkali jalanan dan halaman di depan rumah kami biasanya dipenuhi pengungsi.
Beberapa kali saya diajak Pak Cik, teman kantor bapak, ke rumahnya di tengah kebun aneka tanaman, salah satunya pohon melinjo. Disitu saya pertama kali melihat proses pembuatan emping melinjo.
Kami dijamu seperti kebiasaan disana, dimana aneka menu disajikan di piring-piring yang cukup banyak. Sementara semua orang duduk melingkar.
Meski saya banyak lupa nama masakan-masakan Aceh, tapi sampai sekarang saya seringkali tidak tahan untuk tidak mampir jika melihat papan nama Rumah Makan khas Aceh. Bumbu yang kaya rempah selalu membuat saya kangen.
Dulu saat Rumah Makan Aceh belum banyak di Jakarta, obat kangen saya akan makanan Aceh adalah ke rumah mas Fajri saat lebaran. Disana kami selalu disuguhi kue Nimphan. Gurih lembut...enak banget. Menu masakan lebarannya juga menu masakan Aceh.
Selain itu, saya senang sekali meminta main di kali atau pantai. Seringnya main di pantai Lo'nga dan kali di belakang rumah.
Tabanan Bali
Meski ibu saya asli Tabanan Bali, tapi jujur saya kesana bisa dihitung jari tangan. Yang masih terkenang dan selalu ngangenin, menurut saya adalah alamnya. Khas banget. Semakin usia bertambah, saya juga kagum dengan arsitektur bangunan yang tak lepas dari ciri khas Pulau Dewata. Bahkan Arsitektur Bali saya gunakan sebagai acuan untuk tugas kuliah dulu.
Saya ingat, di sinipun saya minta main ke kali. Untuk mencapai kali dari rumah melalui jalan setapak. Saat itu masih banyak hutan yang cukup lebat. Saya ingat perjalanan sempat terhenti karena ternyata di jalanan ada ular. Akhirnya kami memutuskan memutar melalui jalan lain.
Saat bermain air di kali, tiba-tiba kakak saya teriak ketakutan. Setelah disamperin, ternyata ada daun kering besar yang nyangkut di kakinya, dikiranya itu ular. Masih terbayang ular yang tadi dijumpai rupanya....
Selain itu, tentu kuliner Bali yang selalu ngangeni. Juga aneka tempat wisata yang memberi rasa spesial, seksi, dan pas banget lah untuk healing. Jiwa seni warga Bali pun bisa kita jumpai dalam berbagai bentuk. Baik ukiran kayu, lukisan, maupun aneka fashion khas bali.
Ngawi Jawa Timur
Rumah mbah saya terletak di belakang pasar. Jalan di depan rumah mbah adalah jalan menuju pintu belakang pasar. Mbah saya berjualan pakaian di pasar tersebut. Pedagang lain, banyak juga yang menuju pasar melalui jalan tersebut. Karena itulah, biasanya saya bersama bapak dari pagi rajin duduk6duduk di teras. Supaya tau pedagang apa yang lewat, dan kemudian memanggil untuk belanja beraneka jajan pasar tersebut...hehehe...
Sekitar jam 8-9 pagi saya akan nyusul mbah ke pasar. Menenamani mbah berjualan dan lagi-lagi untuk berburu jajanan khas Ngawi.
Kadang sepupu saya membelikan nasi pecel yang disana merupakan menu sarapan. Hanya saat itu saya dan kakak-kakak belum bisa makan pedas. Sementara takaran pecel yang tidak pedas disana masih pedas untuk ukuran lidah kami.
Sore atau malam, Bapak sering mengajak berburu kuliner kesukaan Bapak seperti Tepo tahu atau cemoe.
Sayangnya, setelah mbah saya berpulang, rumah mbah dijual. Dan saya sudah lama sekali tidak kesana lagi. Karena Saudara-saudara saya pun tersebar di berbagai kota.
Dimanapun kampung halamannya, tentu semua punya kenangan berkesan dan selalu ngangeni. Meskipun kemudian wilayah tersebut terus berkembang dan mungkin merubah wilayah tersebut, kenangan-kenangan itu tidak akan hilang. Baik teman masa kecil, tradisi, kuliner, dan lain sebagainya. Dari situlah, kini kita bisa menjadi diri kita saat ini. Bisa mencapai titik ini.
Salam Kampung Halaman
Putri Soonard