Seorang mahasiswa aktif di Yogyakarta yang suka menulis hal-hal terkait kehidupan sosial di yogyakarta dengan berbagai permasalahan yang ada, serta sesuatu yang menarik seperti trend saat ini.
Ketenangan Slow Living Menyapa Ramadan
"Ketenangan bukanlah keadaan yang tanpa masalah, tetapi kemampuan untuk tetap tenang di tengah masalah." (Sharon Salzberg)
Kutipan dari Sharon Salzberg ini mengingatkan kita bahwa ketenangan bukan berarti hidup tanpa tantangan. Ketenangan datang dari kemampuan kita untuk tetap tenang meskipun menghadapi berbagai kesulitan.
Dalam konteks Ramadan, sering kali kita dihadapkan dengan tantangan seperti rasa lapar, kesibukan, atau bahkan godaan untuk tidak menjaga semangat dalam beribadah. Namun, justru dengan menghadapi semua ini dengan hati yang tenang, kita bisa merasakan kedamaian yang sejati.
Bulan Ramadan kembali hadir! Biasanya, bulan ini penuh dengan berbagai aktivitas seperti sahur, bekerja, hingga berbuka puasa. Namun, kali ini saya memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda slow living selama Ramadan.
Awalnya agak ragu, karena rasanya hidup santai di tengah kesibukan yang menumpuk terasa mustahil. Namun, setelah mencoba, saya merasa pengalaman ini justru membuat hidup lebih bermakna dan mental lebih sehat. Bagi yang penasaran, yuk ikuti cerita saya tentang keindahan slow living di bulan Ramadan!
Sebelum Ramadan datang, hidup saya terasa seperti roller coaster yang tak pernah berhenti. Pekerjaan menumpuk, stres tiada henti, dan terkadang saya lupa untuk berhenti sejenak. Seorang teman menyarankan, "Coba deh slow living, supaya hidupmu lebih tenang."
Awalnya saya pikir slow living itu cuma untuk orang malas. Bagaimana tidak, hidup saya sudah penuh dengan rutinitas yang harus dikejar. Namun, setelah mencari tahu lebih dalam, saya sadar kalau slow living bukan soal malas, tetapi tentang bagaimana menjalani hidup dengan lebih mindful, lebih santai, dan lebih menghargai setiap momen.
Intinya, slow living mengajarkan kita untuk lebih pelan dalam menjalani hidup, fokus pada hal-hal yang penting, dan tidak terburu-buru. Ramadan sebenarnya adalah waktu yang sempurna untuk mencoba gaya hidup ini. Bulan suci ini mengajarkan kita untuk lebih reflektif dan mendekatkan diri kepada Allah, jadi mengapa tidak mencoba?
Salah satu tantangan terbesar bagi saya dalam mencoba slow living adalah media sosial. Siapa yang tidak suka membuka ponsel, scrolling Instagram, atau membaca Twitter?
Biasanya, setiap ada waktu kosong, saya langsung membuka ponsel scrolling tanpa tujuan atau sekadar melihat postingan orang lain. Namun, di bulan Ramadan ini, saya coba batasi penggunaan ponsel. Saya buat aturan simpel: hanya boleh membuka ponsel setelah salat tarawih atau sebelum tidur.
Awalnya terasa aneh, seolah ada yang hilang dalam hidup saya, seakan-akan tidak terhubung dengan dunia luar. Namun setelah beberapa hari dijalani, ternyata dampaknya luar biasa! Waktu yang biasanya terbuang untuk scrolling di media sosial, kini bisa digunakan untuk ngobrol dengan keluarga, membaca buku, atau bahkan merenung. Yang paling menyenangkan, saya jadi lebih sering berbicara langsung dengan orang-orang di sekitar, bukan hanya lewat chat atau komentar online.
Ada satu momen lucu saat berbuka puasa bersama keluarga. Biasanya, saya sibuk dengan ponsel sambil menunggu adzan maghrib. Namun tahun ini, tanpa ponsel di tangan, saya malah membantu ibu di dapur, ngobrol bersama adik-adik, merencanakan liburan setelah Lebaran. Rasanya hangat sekali! Momen seperti ini yang dulu sering terlupakan karena terlalu fokus pada gadget, kini menjadi salah satu kenangan terindah Ramadan tahun ini. Ini salah satu alasan mengapa slow living terasa begitu indah selama Ramadan!
Selain itu, ada satu hal yang benar-benar membuat Ramadan kali ini luar biasa: ibadah. Biasanya, salat tarawih hanya menjadi rutinitas: datang ke masjid, salat cepat, pulang, dan selesai tanpa benar-benar meresapi maknanya. Namun tahun ini, saya mencoba untuk menikmati setiap gerakan salat dengan lebih khusyuk. Saya juga lebih fokus mendengarkan bacaan imam, merenungkan setiap kata yang dibaca, dan benar-benar hadir di setiap detiknya.
-
Ada satu malam pada malam ke-10 Ramadan saat salat tarawih yang membuat saya terharu. Imam membaca ayat tentang pengampunan Allah bagi hamba-Nya yang bertaubat dengan penuh penghayatan. Tiba-tiba, air mata saya mengalir begitu saja. Rasanya seperti menemukan kembali makna sejati dari Ramadan bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga mendekatkan diri kepada Allah dengan hati yang lebih tenang.
Selain itu, saya mulai rutin membaca Al-Qur'an setiap selesai salat subuh sambil duduk santai di teras rumah. Biasanya saya hanya membaca tanpa benar-benar memahami maknanya, tapi kali ini saya coba membaca dengan lebih pelan dan merenungkan maknanya. Rasanya sangat berbeda! Ada ketenangan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Benar deh, slow living membuat ibadah jadi jauh lebih bermakna!
Pelajaran terbesar yang saya dapatkan dari slow living selama Ramadan ini adalah belajar bersyukur atas hal-hal kecil dalam hidup. Hal-hal yang sering dianggap sepele karena sibuk dengan rutinitas sehari-hari. Misalnya, saat berbuka puasa bersama keluarga yang dulu hanya sekadar rutinitas biasa, tahun ini saya coba benar-benar hadir dalam momen tersebut: mendengarkan cerita mereka, tertawa bersama, dan menikmati makanan dengan penuh rasa syukur.
Ada satu malam berbuka bersama keluarga besar di rumah nenek yang membuat hati saya hangat. Kami makan sederhana hanya gorengan dan kolak pisang tapi suasana kebersamaannya luar biasa indah. Saya jadi sadar, kebahagiaan itu tidak selalu datang dari hal-hal besar. Kadang, kebahagiaan hadir dari hal-hal kecil yang penuh cinta dan kasih sayang.
Selain itu, saya juga mulai lebih menghargai hal-hal kecil seperti suara azan maghrib yang menenangkan hati atau segarnya air putih pertama kali saat berbuka. Hal-hal kecil yang dulu sering diabaikan ternyata memiliki kekuatan besar untuk membuat kita merasa bahagia. Inilah mengapa slow living terasa begitu indah di bulan Ramadan karena kita jadi lebih menghargai setiap detik, setiap momen, dan setiap berkah yang ada.
Setelah hampir sebulan menjalani slow living selama Ramadan, dampaknya pada kesehatan mental saya terasa banget. Stres yang biasanya sering datang mulai berkurang; kepala jadi lebih ringan dan hati lebih tenang. Saya juga merasa lebih dekat dengan keluarga dan teman-teman karena memiliki waktu lebih banyak untuk mereka. Bahkan, saya merasa lebih santai dan lebih menikmati setiap momen yang ada.
Yang paling terasa adalah bagaimana slow living membantu saya meningkatkan kualitas ibadah. Rasanya seperti menemukan kembali makna sejati dari Ramadan bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga memperbaiki diri secara spiritual dan emosional. Setelah menjalani Ramadan ini, saya merasa lebih "in the moment," lebih zen, dan jauh lebih bahagia.
Seorang teman pernah bertanya, "Kamu kok kelihatan lebih santai, nggak kayak biasanya?" Saya hanya tersenyum dan jawab, "Coba deh melambatkan ritme hidup sedikit, dan kamu akan merasakan perbedaannya." Ternyata, sesederhana itu, melambatkan hidup bisa membuat kita jauh lebih bahagia.
Ramadan kali ini benar-benar menjadi pengalaman yang mengubah hidup bagi saya. Dengan mencoba slow living, saya belajar untuk memperlambat langkah dan menikmati setiap detik dengan lebih mindful. Gaya hidup ini tidak hanya membantu menjaga kesehatan mental, tapi juga membuat ibadah jadi lebih bermakna.
Bagi kamu yang merasa hidup terlalu sibuk atau stres, coba deh praktikkan slow living selama Ramadan. Percaya deh, kamu akan merasakan perbedaan besar dalam cara menjalani hidup! Yang terpenting, nikmatilah setiap detik di bulan suci ini dengan hati yang tenang, penuh rasa syukur, dan tentunya, lebih bermakna. Indah banget kan rasanya?
Content Competition Selengkapnya
MYSTERY TOPIC
MYSTERY TOPIC
Bercerita +SELENGKAPNYA
Ketemu di Ramadan

Selain buka puasa bersama, Kompasiana dan teman Tenteram ingin mengajak Kompasianer untuk saling berbagi perasaan dan sama-sama merefleksikan kembali makna hari raya.
Info selengkapnya: KetemudiRamadan2025