Ramadhan dengan Suasana Berbeda
Kakiku melangkah ke barisan depan, di mana ada beberapa yang kosong tidak ada yang berniat mengisinya. Barisan paling depan berisi ibu-ibu sepuh, barisan yang paling aku hindari dari dulu, namun lihatlah kini, aku berada di barisan itu. Meleburkan diri pada ibu-ibu sepuh yang sudah kepayahan mengikuti gerakan sholat sang imam. Dulu aku yang berumur belasan akan menertawakan kepayahan itu, gerakan yang kesusahan dan kadang tertinggal itu terasa lucu. Ketika imam sudah sujud dan beliau-beliau masih dalam kondisi rukuk. Kini, hatiku terenyuh, mereka yang sepuh masih memiliki semangat yang bahkan tidak dimiliki oleh kaum muda.
Benar saja, di tengah jeda rakaat sholat salah seorang ibu terdengar memarahi gadis berumur belasan yang ribut, suara mereka bercerita terdengar lantang dan sedikit banyak mengganggu konsentrasi. Meski begitu mereka akan mengulanginya lagi, seolah perkataan ibu itu hanya angin lalu saja. Persis, sama persis dan belum ada yang berubah, apa semua gadis berumur belasan demikian adanya? Entahlah.
Aku benar-benar merasa semua telah berubah, dan aku bukan lagi gadis nakal berusia belasan tahun yang datang ke mushola dengan niat sholawat tarawih yang berujung main-main di mushola. Usiaku sudah menginjak dua puluhan dan aku merasa seperti baru kemarin aku berlarian menuju mushola, saling dorong, bercerita dengan suara tawa yang keras, berebut ini dan itu.
Untuk malam itu juga aku memutuskan untuk bergabung tadarusan Qur'an setelah selesai sholat tarawih. Aku duduk menunggu Pak Teja membaca sholawatan sebagai jeda antara tarawih dan tadarusan dengan duduk menyender di dinding, memperhatikan gadis belasan tahun itu berebut Al-quran dari lemari dan berebut antrian membaca Al-qur'an menggunakan pengeras suara. Selain gadis belasan tahun itu ada beberapa ibu-ibu yang membiarkan saja mereka berebut dengan dalih jika di tegur nanti mereka kehilangan semangat dalam menghidupkan ramadhan dengan tadarusan.
"Loh-Loh, kok Pak Teja duluan yang baca, seharusnya kan dikasih ke kita," gerutu sebal salah satu dari mereka yang telah bersiap dengan al-Qur'an yang terbuka di tangan. Melihat Pak Teja segera membaca Al-qur'an setelah selesai bersholawat, bukan memberikan pengeras suara pada mereka yang sudah menunggu antusias.
"Iya, sudah Pak Teja nanti kalian, gak papa, beliau paling cuman selembar bacanya," sahut salah seorang Ibu di sampingku.
Aku hanya tersenyum geli memperhatikan itu, "Ternyata sama saja ya, Bude, kami dulu seumuran mereka ya begitulah," kataku kemudian.
"Iya begitulah, Mba Diya, mereka masih semangat-semangatnya. Nanti kalau dirumah mereka akan dengan bangga mengatakan pada orangtua bahwa mereka tadi membaca nomor sekian dengan pengeras suara."
Aku mengangguk setuju, aku dahulu juga demikian. Sekarang? Aku hanya ingin membaca Al-Qur'an sebanyak mungkin, di dengar ataupun tidak oleh orang lain, menggunakan pengeras suara ataupun tidak.
"Ihh Pak Teja kok lama sih, Bude. Katanya selembar ini mah setengah juz," protes mereka lagi.
"Pak Teja, gantian-gantian nanti anak-anak ngambek," kata Ibu di sebelahku.