Luna Septalisa
Luna Septalisa Administrasi

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Islam Itu Indah Karena Keberagaman Pendapat Para Ulama

8 April 2022   15:22 Diperbarui: 9 April 2022   05:08 1749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Islam Itu Indah Karena Keberagaman Pendapat Para Ulama
ilustrasi ulama-gambar diunduh dari banten.indeksnews.com

"Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan." 

-Q.S. Al-Maidah (5): 48-

Perbedaan adalah rahmat dan kita diajarkan untuk bisa menghormatinya. Namun, praktiknya tidak selalu sejalan dengan teorinya.

Jangankan terhadap orang-orang yang berbeda agama dan kepercayaan, terhadap sesama umat Islam sendiri saja kita masih suka mengkafir-kafirkan umat atau ulama yang berbeda pandangan dengan mayoritas. Sebagian sampai ada yang tega menuding dan melabeli ulama A sesat, ulama B ahli bid'ah, ulama C liberal, ulama D Syiah dan ulama E pesanan pemerintah. Seolah-olah ulama yang lebih banyak pengikutnya dan lebih banyak diikuti pendapatnya adalah yang paling benar.

Perbedaan pendapat antar ulama adalah hal yang wajar dan sudah terjadi sejak dulu. 

Sebelum kerasulan Nabi Muhammad Saw, antar nabi saja bisa ada perbedaan pendapat. Seperti yang tercantum dalam Surat Al-Anbiya ayat 78-79, yaitu ketika Nabi Sulaiman dan Nabi Daud berbeda pendapat dalam memutus perkara tentang ladang seseorang yang dirusak oleh kambing-kambing milik kaumnya.

Ketika Allah mewahyukan bahwa kebenaran berada di pihak Nabi Sulaiman, Nabi Sulaiman pun tidak mencela Nabi Daud. Bahkan disebutkan bahwa keduanya sama-sama mendapat ilmu dan hikmah.

Di masa Rasulullah Saw, perbedaan pendapat jarang terjadi karena umat saat itu dapat mendengar dan melihat langsung apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Jika ada perkara yang tidak mereka pahami atau para sahabat berselisih pendapat, mereka bisa langsung bertanya pada Nabi.

Bibit-bibit perbedaan mulai berkembang di kalangan sahabat setelah Rasulullah Saw wafat, semakin melebar pada generasi Tabi'in (generasi Islam awal yang hidup setelah Nabi Muhammad Saw dan para sahabat) dan mencapai puncaknya pada generasi imam mazhab.

Perbedaan antar ulama bisa disebabkan oleh beberapa hal, seperti perbedaan qira'at (bacaan) Al-Quran, banyaknya hadis yang diketahui (dipengaruhi oleh intensitas interaksi dengan Nabi Muhammad Saw), perbedaan dalam menghukumi kesahihan hadis, perbedaan dalam menafsirkan teks Al-Quran dan hadis, adanya pertentangan dalil dan perbedaan kaidah istinbat hukum.

Dalam buku Ngaji Fikih, Pemahaman Tekstual dengan Aplikasi yang Kontekstual karya Prof. K.H. Ibrahim Hosen, L.M.L. dan Nadirsyah Hosen (2020), disebutkan bahwa ulama mazhab pernah berbeda pendapat dengan jumhur (mayoritas) ulama dalam beberapa kasus.

Imam Syafi'I berpendapat bahwa anak yang lahir di luar nikah, apabila perempuan, boleh dinikahi oleh bapak biologisnya karena nasabnya tidak dilekatkan pada bapaknya dan bapaknya tidak berhak menjadi wali nikah anak perempuannya.

Imam Malik berpendapat bahwa anjing tidak najis. Sementara mazhab Syafi'i, Hambali dan Hanafi menghukumi anjing sebagai najis dengan ketentuan yang berbeda. Ada yang berpendapat hanya air liur dan keringatnya yang najis. Ada pula yang berpendapat bulu, keringat dan air liurnya najis.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa nabidz (sejenis minuman selain dari perasan anggur yang difermentasikan) itu halal selama dikonsumsi dalam kadar yang tidak memabukkan. Padahal menurut jumhur (mayoritas) ulama, minuman yang berpotensi memabukkan, apapun jenisnya, berapa pun kadarnya, yang minum itu mabuk atau tidak, tetap dihukumi haram.

Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa makan daging unta membatalkan wudhu sedangkan jumhur berpendapat sebaliknya.

Jika selama ini kita lebih familiar dengan pendapat yang menyatakan bahwa seluruh bagian dari babi, termasuk lemak dan tulangnya haram, Imam Dawud al-Zhahiri (Ulama ahlusunnah dan pendiri mazhab Zhahiri. Awalnya adalah pengikut Imam Syafi'i) malah berpendapat hanya dagingnya yang haram.

Dan masih banyak contoh lain tentang perbedaan pendapat antara ulama mazhab dengan jumhur, yang dalam kasus tertentu terbilang aneh dan kontroversial.

Namun, di masa sekarang, perbedaan pendapat malah dijadikan alasan untuk saling menghujat. Seolah-olah yang berbeda itu buruk, salah dan sesat. Bisa saja kan, mereka berpedoman pada pendapat ulama lain (bukan pendapat mayoritas) yang belum atau tidak kita ketahui karena kurang familiar di masyarakat? Sayangnya, kita telanjur berprasangka yang bukan-bukan.

Meski beberapa pendapat terkesan kurang populer, aneh bahkan kontroversial, pendapat mereka bukan asbun alias asal bunyi. Para ulama itu tetap mendasarkan pendapatnya pada Al-Quran dan hadis.

Lagipula, kalau kita perhatikan firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 48 dan ayat lain yang semakna, sebenarnya Allah sendiri memfasilitasi perbedaan itu. Buktinya, firman-Nya tidak menggunakan kata-kata yang bermakna tunggal sehingga memungkinkan adanya perbedaan qira'at (bacaan) dan penafsiran.

Allah membuatnya demikian karena Dia ingin kita berpikir, saling belajar untuk kemudian saling melengkapi. Toh, Nabi sendiri berkata jika ijtihad ulama itu benar, ia akan mendapat dua pahala dan jika salah ia mendapat satu pahala. Kita sebagai umat pun diperbolehkan untuk memilih pendapat mana yang paling mudah dilakukan dan sesuai dengan kondisi kita.

Perbedaan pendapat di kalangan ulama justru menandakan bahwa Islam itu kaya, berwarna dan indah. Jadi, kenapa harus ribut dan menuntut keseragaman? 

Referensi: 1,2,3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun