Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/
Ketika Adisa Mengaji
Hening.
Hanya terdengar lantunan ayat--ayat suci Al Quran dari arah paviliun. Adisa mengaji. Suaranya merdu. Mendadak getaran halus muncul di dada. Entah apa. Entah mengapa. Dan mengapa pula Adisa sering mengaji di bulan Ramadan? Mengapa tidak seusai Magrib seperti biasanya? Ketika malam bertambah pekat. Dan suara kuk kuk burung hantu tak lagi terdengar menakutkan.
Aku dan Adisa berbeda agama. Aku Katolik, Adisa muslim. Kami serumah. Tepatnya setahun lalu, Adisa pindah ke rumahku dengan berbagai alasan.
"Hubungan kita termasuk simbiosis komensalisme, Mik", kata Adisa. "Hanya aku yang beruntung".
"Mana bisa begitu Dis. Dua manusia yang saling terkait, pastilah saling menguntungkan. Seburuk apapun sikap dan sifat salah satunya".
Kolak pisang yang tersisa setengah mangkuk membuktikan ucapanku. Adisa selalu tahu makanan kesukaanku. Termasuk takjil. Kolak pisang dan kolang kaling dengan siraman kuah santan yang kental. Hanya Adisa yang bisa membuatnya.
"Baru pulang?"
Adisa tiba-tiba muncul. Tepukan tangannya dipunggungku membuyarkan lamunan.
Aku mengangguk.
Adisa menjerang air dalam teko. Menyendok kopi dan gula. Memasukkannya dalam mug bertuliskan "Adisa". Nyaris tanpa suara.
"Dis, perasaan selama bulan puasa, kamu sering banget mengaji deh".
Gerakan tangan Adisa terhenti. Ujung kerudungnya urung terikat ke belakang. Menjuntai kembali ke depan.
"Duh maaf, ngeganggu ya?" Wajah Adisa mengerut. Bola matanya berpendar.
"Oh ngga. Aku justru suka kok Dis. Suaramu bagus. Rumah ini tak lagi sepi. Aku suka".
Air dalam teko mendidih. Mengantar uap air. Menimbulkan bunyi. Bergegas Adisa mengangkat teko dan menyeduh kopinya. Dan segelas teh untukku. Kopi, teh dan beberapa potongan brownies buatan Adisa, bakal menemani obrolan panjang kami malam ini.
"Bulan puasa, bulan istimewa, Mik", kata Adisa memulai percakapan.
"Kami berkeyakinan, di bulan ini permohonan kami dikabulkan, dosa dihapus. Karena itu pintu surga dibuka. Pintu neraka ditutup. Dan setan-setan diikat", lanjutnya.
"Apa hubungannya dengan puasa?" tanyaku.
Adisa mengangguk. Sebagai mualaf, Adisa paham bahwa dalam agama kami juga terdapat anjuran berpuasa selama sebulan. Sebelum Paskah, hari raya kebangkitan Yesus. Atau Nabi Isa, menurut kaum muslim.
"Perintah berpuasa telah ada sejak kitab perjanjian lama, Mik. Tanpa tekanan. Artinya boleh puasa, boleh tidak. Sedangkan bagi kami, ibadah puasa adalah wajib. Menahan lapar dan dahaga hanyalah bentuk ibadah fisik"
"Aku mengaji agar tidak sekedar merasakan lapar dan dahaga", lanjut Adisa".
" Mengaji merupakan usaha menyempurnakan ibadah pada Tuhan. Namanya habluminallah. Yang lainnya habluminannas. Ibadah dengan berusaha menyempurnakan hubungan dengan sesama manusia. Karena itu harus menghindari ribut, apalagi jadi biang kerok keributan" , kata Adisa sambil tersenyum.
"Hmm, termasuk bikin takjil untuk masjid ya, Dis? Habluminannas?"
Adisa mengangguk.
"Iya, harus imbang. Jangan minta doang ke Tuhan, tapi pelit bin kikir ke sesama manusia", jawab Adisa sambil tersenyum. Lagi.
"Mengaji di bulan puasa sensasinya ngga sama dengan hari-hari biasa. Terasa ringan. Keinginan duniawi hilang. Seolah seisi semesta mendukung, ikut mendengar curhatku pada Tuhan. Nyaman rasanya".
Aku mulai memahami mengapa alunan suara mengaji Adisa di bulan Ramadan ini menimbulkan getaran-getaran halus di hati. Adisa tidak sekedar membaca huruf-huruf Al Quran. Dia sedang memohon pada Sang Pencipta. Dia sedang mengobrol dengan Rabb-nya.
Dan waktu khusyu itu cuma sebulan. Hanya di bulan Ramadan, ketika perut terasa lapar dan dahaga. Berbincang-bincang denganNya pastilah menyenangkan. Berkeluh kesah dan mengadu pada Sang Maha Pengasih pastilah indah.
Aku paham. Jika esok Adisa meneteskan air mata sambil mengalunkan ayat-ayat suci. Pastilah karena Adisa bersedih. Berpisah dengan bulan penuh berkah ini. Bulan yang akan dirindukan. Karena tak semua insan akan berjumpa Ramadan lagi di tahun depan.