Kisah Ramadan yang Berbalik Keadaan
"Aku mohon izin Mas, Paman Santo akan meminjam uang untuk berobat," ucapku lembut.
Suamiku menatap dan mengeryitkan kening.
"Kan, adek harus izin sama Mas," sambungku lagi.
Mas Hadi suamiku itu melengkung bibir terpaksa. Sorot mata semula memandangku beralih ke Paman dan Bu Lek yang terlihat gugup menunggu jawaban.
"Bukankah kamu pernah cerita, kamu sama mak pernah diusir oleh mereka dan peristiwa itu masih kamu kenang, dan sangat menyakitkan. Kamu yang kecapekan dari rumahnya akhirnya jadinya berbuka puasa setelah kehausan yang hasilnya pun tidak dapat meminjam uang pada mereka." Mas Hadi berucap tegas dan penuh tatapan mengintimidasi.
"Mas, itu-" Aku tak sanggup melanjutkan bicara. Lenganku menyenggol lengannya.
"Tak apa, terkadang kita harus berucap jujur dan mengingatkan agar orang itu sadar diri dan tau diri!" Suamiku lagi-lagi sarkas.
"Maaf Paman, Bu Lek," lirihku kikuk dan merasa ucapan suamiku keterlaluan. Dia memang sosok ceplas-ceplos dan idealis. Kedua kerabatku itu hanya tertunduk.
"Mas, sudah, aku sudah ikhlas mengenai hal itu," tambahku lagi, kali ini aku memandang dengan sayu dan memohon agar ia tidak mengungkit masa lalu itu.
Ia mengangguk setuju dan tatapannya kembali ramah.
"Sebenarnya Yanti bilang kejadian itu sudah dia ikhlaskan, cuma pemikiran saya yang dangkal ini, menangkapnya ia belum ikhlas, kalau dia tidak sakit hati dengan kejadian itu dia tidak akan cerita sama saya dan juga hikmahnya adalah ia menjadi termotivasi untuk mengubah hidup dan itu berhasil. Yanti juga seharusnya berterima kasih kepada Paman dan Bu Lek. Maafkan atas perkataan saya tadi, ya. Saya mengizinkan istri saya untuk membantu keluarganya, jadi jangan sungkan." Mas Hadi mengatupkan kedua telapak tangannya saat ia berbicara panjang lebar dan lugas tersebut.