Masjid di Stuttgart dengan Minaret Simbol Toleransi
Area halaman masjid yang dihiasi Paviliun Wudhu (Shadrivan) dan taman, nampak sepi. Sebelum sampai di tempat ini, aku sudah tahu dari sahabat-sahabat muslimku di desa tempatku tinggal yang berkewarganegaran Bosnia, Albania, Kosovo, dan Algeria bahwa sebagian besar umat muslim di Jerman melaksanakan Iftar di rumah masing-masing karena jarak tinggal yang jauh dari masjid apalagi jam itu adalah masih termasuk jam pulang kerja. Kecuali pada hari Jumat banyak jamaah yang khusus datang untuk melakukan Shalat Jumat bersama.
Di kedua sisi pintu masuk terdapat tulisan "Ramadhan".
Di ruang koridor sebelum memasuki ruang sholat yang terletak di sebelah kanan, terdapat rak-rak buku agama dan meja kecil yang di atasnya disediakan air dan kurma untuk berbuka. Juga terdapat monitor yang menunjukan jam-jam sholat setiap hari.
Aku memasuki ruang sholat berharap ada seseorang yang bisa kutemui untuk bercakap-cakap, tapi sayang sekali, aku masih tetap seorang diri. Di dalam ruang sholat terlihat Mihrab dan Mimbar Ceramah dari kayu.
Aku menggunakan waktu untuk beristirahat sebentar dan duduk sebentar di karpet. Ingatanku melayang pada kenangan masa kecil, meskipun aku dan keluargaku sendiri tidak ber-Ramadan, tapi kenangan akan bulan ini di kota Gorontalo di tempat aku dibesarkan selalu memberi ruang rindu.
Waktu aku kecil, bersama kakakku, kami ikut dalam Malam Tumbilotohe atau Malam Pasang Lampu Minyak yang dilakukan di hari-hari terakhir bulan Ramadan sebelum memasuki Hari Idul Fitri.
Saat itu, halaman rumah kami pun dipenuhi dengan lampu minyak. Ibuku selalu bertanya, "Kalian kan cuma bikin tadi beberapa, kenapa sekarang sudah jadi banyak?". Kemudian aku dan kakakku akan menjawab serempak ,"Dikasih teman-teman tetangga."