Meti Irmayanti
Meti Irmayanti Lainnya

Dari kota kecil nan jauh di Sulawesi Tenggara, mencoba membuka wawasan dengan menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Fiqih Ramadan bagi Muslimah

8 Maret 2024   18:47 Diperbarui: 8 Maret 2024   18:48 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiqih Ramadan bagi Muslimah
Foto: tirto.id

Begitu pula sebaliknya jika wanita tersebut telah suci sebelum fajar bahkan walaupun semenit misalnya sebelum subuh, maka ia wajib berpuasa pada hari itu walaupun ia belum sempat mandi bersih dari haid.

Hukum nifas sama dengan hukum haid, Merujuk pada riwayat yang shahih, batas masa nifas adalah 40 hari. Ummu Salamah RA mengatakan: "Adalah para wanita yang melahirkan pada masa Rasulullah SAW biasa menjalani masa nifasnya selama 40 hari setelah proses persalinannya." (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah).

Namun, jika yakin darah nifas telah benar-benar bersih sebelum 40 hari, boleh segera mandi suci dan menjalankan ibadah yang sebelumnya tidak boleh dilakukan karena nifas, termasuk berpuasa.

Ingat, hukum puasa yang ditinggalkan karena haid dan nifas adalah menggantinya (mengqadhanya) di bulan di luar Ramadan, mulai sehari setelah lebaran hingga sebelum masuk bulan Ramadan berikutnya, kecuali saat Idul Adha dan hari-hari tasyrik yang memang diharamkan untuk berpuasa. Boleh dilakukan secara berturut-turut dan boleh juga tidak.

Tetapi perlu diingat bahwa mengqadah puasa ini tidak boleh di akhirkan sampai datangnya bulan Ramadan berikutnya, barang siapa yang mengakhirkan qadha puasa sampai datangnya Ramadan berikutnya tanpa ada udzur syar'i, maka di samping mengqadha ia harus membayar fidyah dengan memberi makan satu orang miskin dalam satu hari puasa yang ditinggalkannya sebagai hukuman atas kelalaiannya.

Wanita Hamil dan Menyusui

Secara syariat wanita yang sedang hamil atau yang sedang menyusui tetap wajib berpuasa di bulan Ramadan, sama halnya dengan wanita-wanita lain, selagi ia mampu melakukannya.

Namun, jika ia tidak mampu untuk berpuasa karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan, maka ia boleh berbuka (tidak berpuasa) sebagaimana wanita yang sedang sakit, dan wajib mengqadhanya jika kondisinya telah memungkinkan untuk berpuasa.

Allah berfirman: "Maka barang siapa di antara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajibnya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain" (QS. Al Baqarah: 184).

Dan apabila muslimah itu mampu untuk berpuasa, tapi karena ada kekhawatiran akan berbahaya bagi kandungan atau anak yang disusuinya, maka ia boleh berbuka (tidak berpuasa) dengan kewajiban untuk mengqadha di hari lain dan membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin.

Disini harus diingat bahwa dalam kondisi seperti di atas, mengganti puasa yang ditinggalkan bukan saja hanya dengan mengqadhanya tetapi juga harus dengan membayar fidyah, tidak boleh hanya salah satunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun