Satu-satunya penulis sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.
Puasa Ramadhan dan Addiction

Sains menganjurkan ini:
Ada banyak variasi aktivitas yang membuat otak Anda bisa mendapatkan dopamine dalam tingkat yang normal. Mulai dari berolahraga, membangun tali silaturahim dengan orang lain (relationships) di berbagai layers, bersyukur (menurut definisi sains), meditasi (berdoa atau beribadah), berbuat kebajikan, dan lain-lain.
Jika dopamine dari berbagai macam kegiatan itu tercukupi, maka Anda tidak lagi memerlukan dopamine dalam tingkat yang besar dari narkoba, atau dari aktivitas seksual yang berlebihan, atau dari bermain video game yang berlebihan, berjudi, makanan & minuman, demikian juga dari aktivitas di medsos yang gila-gilaan.
Puasa Ramadhan mendorong kita untuk melakukan berbagai aktivitas yang bisa memicu keluarnya dopamine secara normal atau sehat, seperti meditasi (berdoa atau beribadah), bersyukur, melakukan kebajikan, membangun tali silaturahim, dan lain-lain.
Semua kegiatan ini memberi dopamine dalam tingkat yang normal saja. Pada saat tidak melakukan kegiatan itu, maka kondisi otak tidak akan mengalami defisit dopamine yang sangat rendah. Sementara itu narkoba atau kegiatan lain yang ekstrim bisa menghasilkan dampak kekurangan dopamine yang ekstrim setelah naiknya tingkat dopamine secara ekstrim ( bisa 10 kali lipat lebih).
Kekurangan dopamine yang ekstrim menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan, yaitu memicu keluarnya hormon stres (cortisol), sehingga amygdala menjadi lebih aktif daripada kondisi normal. Jika itu terjadi dalam waktu yang lama atau terus-menerus, maka akibatnya muncul depresi yang berat. Kondisi ini juga menumbuhkan keinginan untuk mengkonsumsi narkoba atau kegiatan yang membuat kecanduan itu.
Jangan lupa juga dalam kondisi depresi, maka Prefrontal Cortex (PFC), satu bagian otak yang memiliki executive function, di mana terjadi proses berpikir rasional atau penuh pertimbangan, menjadi tidak aktif lagi. Itu sebabnya kita melihat pecandu mudah sekali melakukan hal-hal yang berbahaya atau melanggar hukum. Itu karena ia tidak mampu lagi berpikir jernih seperti orang normal. Bahkan pecandu mampu melakukan kekerasan fisik pada orang lain, seperti mengeroyok orang lain. Itu menunjukkan PFC-nya sedang dibajak oleh amygdala-nya.
Jadi siapa bilang ajaran agama tidak memiliki penjelasan ilmiahnya? Puasa adalah tradisi yang sudah setua usia peradaban manusia. Sekarang, setelah neuroscience berkembang 3 dekade terakhir, kita bisa memahami mengapa kita membutuhkan puasa.
M. Jojo Rahardjo