Satu-satunya penulis sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.
Puasa Ramadhan dan Addiction

Baru-baru ini ada sebuah berita beredar di media sosial yang menunjukkan seorang anggota DPR terlihat sedang menonton video porno saat sidang.
Kasus anggota DPR menonton video atau gambar porno bukan baru kali itu saja tertangkap kamera. Mengapa di tengah satu aktivitas penting, yaitu sidang untuk mengurus rakyat, ada orang yang mengalihkan perhatiannya pada sesuatu yang dianggap tidak produktif?
Sejak lama sains sudah menemukan pornografi sama dengan narkoba atau alkohol, yaitu dapat membuat kecanduan penggunanya. Jika kecanduan maka ada dampak negatif yang muncul.
Bahkan gula, garam, lemak sekarang disebut sebagai addictive substances seperti disebut dalam buku best seller berjudul "Sugar Salt Fat" yang ditulis oleh Michael Moss, seorang jurnalis papan atas New York Times.
Buku yang mendapat hadiah Pulitzer mengungkap bagaimana industri makanan & minuman di dunia melakukan riset mendalam dengan menggunakan neuroscience untuk menemukan cara agar konsumen kecanduan pada produk makanan atau minuman yang mereka ciptakan.
Namun demikian, ada banyak orang yang tidak bisa kecanduan pada apa yang disebut di atas. Mengapa?
==o==
Otak dalam proses evolusinya telah dibekali dengan berbagai catatan yang berisi berbagai informasi yang berguna untuk kepentingan survival (bertahan hidup).
Makanan atau minuman, berbagai benda lain, serta berbagai aktivitas tertentu akan memicu keluarnya hormon dopamine. Hormon ini sering disebut sebagai motivation, reward, atau pleasure hormone.
Saat melihat sesuatu benda atau obyek (juga dirasakan melalui berbagai indera lainnya) yang obyek itu sudah ada catatannya di otak, yaitu bisa mempromosikan survival, maka seketika saja otak akan memproduksi dopamine yang berguna untuk memberi dorongan dalam mendapatkannya atau mencapai objek itu. Itu sebabnya dopamine sering disebut sebagai motivation hormone.
Otak homo sapiens telah berkembang jauh lebih advanced, sehingga bukan hanya obyek atau berbagai benda yang bisa memicu keluarnya dopamine, tetapi juga pemikiran, angan-angan, atau ingatan dari masa lalu juga bisa memicu keluarnya dopamine.
Dopamine juga terpicu keluar oleh beberapa sebab lain yang mirip dengan survival, misalnya makanan atau minuman, juga aktivitas tertentu yang seharusnya dikategorikan berbahaya, seperti olahraga ekstrim. Alkohol atau narkoba yang bisa menghilangkan kesadaran mampu memicu keluarnya dopamine 10 kali lipat daripada aktivitas normal lainnya.
Kenaikan tingkat dopamine pada tingkat yang wajar berguna untuk membuat otak berfungsi lebih baik. Misalnya fungsi hippocampus dan prefrontal cortex (PFC) akan menjadi lebih baik. Sebagaimana kita tahu dua bagian penting di otak ini berinteraksi satu sama lain dalam menghasilkan memory processing (hippocampus) dan menghasilkan pemikiran rasional yang penuh pertimbangan (PFC).
Namun kenaikan tingkat dopamine yang terlalu tinggi, misalnya 10 kali lipat seperti yang dipicu oleh narkoba, malah merusak otak dalam penggunaan jangka panjang.
Tidak hanya narkoba yang memiliki efek seperti itu. Kegiatan lain seperti video game, aktivitas seksual yang berlebihan, atau aktivitas di medsos yang berlebihan akan membuat penggunanya tidak membiasakan diri untuk mendapat pasokan dopamine dari berbagai aktivitas yang lebih sehat atau normal.
Namun sebagai sudah disebut di atas sekali, tidak semua orang bisa menjadi kecanduan.
==o==
Puasa Ramadhan untuk Menurunkan Aktivitas Kecanduan?
Apa yang membuat orang tidak kecanduan, sementara lainnya kecanduan?
Jawaban yang sederhana sekali adalah: Mereka yang tidak mudah kecanduan itu mendapatkan pasokan dopamine dari berbagai aktivitas lain yang lebih normal atau lebih sehat. Mereka tidak mengandalkan satu aktivitas saja (misalnya bermain video game, atau beraktivitas di medsos saja), tetapi mengandalkan banyak atau berbagai macam aktivitas lain.
Kegandrungan atau kecanduan beraktivitas di medsos menghasilkan dampak, yaitu pengguna medsos tercemari negativity. Padahal pengguna medsos itu tidak bisa menurunkan aktivitasnya di medsos, karena sudah kecanduan.
Mestinya jika Anda kembali pada ajaran agama yang berkaitan dengan puasa Ramadhan, maka setiap orang yang berpuasa Ramadhan harus mengurangi atau menghentikan aktivitasnya di medsos, karena sangat rawan atau cenderung melakukan perbuatan yang tidak dianjurkan oleh agama. Ganti aktivitas Anda di medsos dengan banyak kegiatan lain yang sangat dianjurkan oleh agama. Tentu Anda sudah tahu itu apa saja.
Sains menganjurkan ini:
Ada banyak variasi aktivitas yang membuat otak Anda bisa mendapatkan dopamine dalam tingkat yang normal. Mulai dari berolahraga, membangun tali silaturahim dengan orang lain (relationships) di berbagai layers, bersyukur (menurut definisi sains), meditasi (berdoa atau beribadah), berbuat kebajikan, dan lain-lain.
Jika dopamine dari berbagai macam kegiatan itu tercukupi, maka Anda tidak lagi memerlukan dopamine dalam tingkat yang besar dari narkoba, atau dari aktivitas seksual yang berlebihan, atau dari bermain video game yang berlebihan, berjudi, makanan & minuman, demikian juga dari aktivitas di medsos yang gila-gilaan.
Puasa Ramadhan mendorong kita untuk melakukan berbagai aktivitas yang bisa memicu keluarnya dopamine secara normal atau sehat, seperti meditasi (berdoa atau beribadah), bersyukur, melakukan kebajikan, membangun tali silaturahim, dan lain-lain.
Semua kegiatan ini memberi dopamine dalam tingkat yang normal saja. Pada saat tidak melakukan kegiatan itu, maka kondisi otak tidak akan mengalami defisit dopamine yang sangat rendah. Sementara itu narkoba atau kegiatan lain yang ekstrim bisa menghasilkan dampak kekurangan dopamine yang ekstrim setelah naiknya tingkat dopamine secara ekstrim ( bisa 10 kali lipat lebih).
Kekurangan dopamine yang ekstrim menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan, yaitu memicu keluarnya hormon stres (cortisol), sehingga amygdala menjadi lebih aktif daripada kondisi normal. Jika itu terjadi dalam waktu yang lama atau terus-menerus, maka akibatnya muncul depresi yang berat. Kondisi ini juga menumbuhkan keinginan untuk mengkonsumsi narkoba atau kegiatan yang membuat kecanduan itu.
Jangan lupa juga dalam kondisi depresi, maka Prefrontal Cortex (PFC), satu bagian otak yang memiliki executive function, di mana terjadi proses berpikir rasional atau penuh pertimbangan, menjadi tidak aktif lagi. Itu sebabnya kita melihat pecandu mudah sekali melakukan hal-hal yang berbahaya atau melanggar hukum. Itu karena ia tidak mampu lagi berpikir jernih seperti orang normal. Bahkan pecandu mampu melakukan kekerasan fisik pada orang lain, seperti mengeroyok orang lain. Itu menunjukkan PFC-nya sedang dibajak oleh amygdala-nya.
Jadi siapa bilang ajaran agama tidak memiliki penjelasan ilmiahnya? Puasa adalah tradisi yang sudah setua usia peradaban manusia. Sekarang, setelah neuroscience berkembang 3 dekade terakhir, kita bisa memahami mengapa kita membutuhkan puasa.
M. Jojo Rahardjo