Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."
Kliwon, Episode Legi Tak Bisa Hutang Lagi
Persis usai salat Asar di Musala Kampung Bluwangan. Legi duduk menyendiri di diklik depan tungku. Ia sedang menanak nasi, tapi tak tahu lagi akan membuat lauk apa untuk berbuka dan sahur dini hari nanti. Pasalnya, hutang terus meningkat di hampir seluruh warung tak lagi bersedia memberikan hutang.
"Tak apa, memasak yang kita miliki," kata Kliwon.
"Ya, Kang."
"Alhamdulillah, dapat rezeki yang baik, ini hasil pancingan di sungai," lanjut Kliwon.
Wajah Legi tampak berbinar-binar, tangannya bergetar menerima rentengan 3 ekor ikan gabus dari tangan suaminya. Matanya menatap suaminya dengan penuh rasa cinta. Tak ada penyesalan menjalani hidup dengan Kliwon yang tampaknya memang memiliki gurat kemiskinan dalam tubuhnya. Bagi Legi, cinta sudah cukup baginya sebagai kekuatan menjalani kehidupan bersama Kliwon, suaminya terkasih. Tak ganteng juga sebetulnya laki-laki itu, tapi kebaikan hati dan kelembutan tutur kata dan perilakunya yang membuat Legi kemathil-manthil.
"Apa karena puasa menjadi boros, ya?" Tanyanya kepada Kliwon sambil mencuci ikan gabus itu, setelah dipotong menjadi delapan bagian, empat bagian untuk berbuka dan empat bagian sisanya untuk makan sahur.
"Nggak benar itu, Mbok," jawab Kliwon.
Menurut Kliwon, puasa sama sekali tidak menyebabkan pengeluaran menjadi berlebihan. Hutang di warung bukan karena belanja selama bulan puasa, tetapi hutang sebelum masuk puasa karena di musim penghujan, permintaan memanjat kelapa banyak yang akhirnya dibatalkan. Pohon-pohon licin, dan tentu akan sangat membahayakan bagi para pemanjat kelapa, tak ada bedanya memanjat pohon untuk memetik buah kelapa dan untuk mengambil nira.
"Hanya orang yang demen berfoya-foya yang menjadikan orang menjadi boros selama bulan puasa," kata Kliwon.
Legi manggut-manggut menyetujui perkataan suaminya. Ia selalu mengagumi pikiran-pikiran yang disampaikan suaminya. Ia sering membayangkan kalau saja Kliwon bisa mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, tak hanya SMU mungkin nasib jalan Kliwon akan berbeda. Tetapi ia buru-buru menghapus pikirannya, khawatir menurunkan rasa syukur yang selama ini sudah dijalaninya.
"Jadi bukan karena bulan puasa, ya, Kang."
"Ya, sayang. Orang yang berlebih-lebihan dalam berbelanja dengan alasan berpuasa sama saja dengan mencederai kesucian bulan puasa itu sendiri."
"Dengan berlebihan, orang-orang itu juga sedang mengikuti nafsu setan, dan dengan begitu kan kehilangan hikmat dari puasa," lanjut Kliwon.
"Ya, Pak Kiai," kata Legi sambil menangkupkan telapak tangan di depan dada. Kliwon tertawa terbahak-bahak. Lalu memeluk erat istrinya, merengkuhnya ke dalam dadanya yang bidang. Ia mencium kening Legi dengan lembut.
"Kang...," kata Legi dengan suara tersendat.
Tubuh mereka merapat, dan semakin rapat. Api di tungku mendidihkan air dalam cerek yang sudah hampir seluruh bagiannya terlihat hitam. Ketika tangan Kliwon semakin tak bisa dikendalikan, Legi melonggarkan tubuh, dan berkata, "Kang, nanti kehilangan hikmah puasanya."