Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.
Pardi, Marbut yang Melabuhkan Hidupnya di Masjid
Memasuki pelataran masjid di kampung saya, akan tampak beberapa pot bunga di depan teras. Halaman masjid tampak bersih dari sampah. Hampir tidak terlihat sehelai sampah.
Di sisi utara ada fasilitas toilet, tempat wudhu, dan tempat buang air kecil untuk laki-laki. Di sebelah selatan fasilitas yang sama untuk perempuan. Fasilitas ini juga selalu bersih. Bahkan tempat wudhu itu, khusus laki-laki, sering dijadikan tempat berkumpul dan rebahan anak-anak dan remaja setempat.
Kebersihan ruangan Masjid juga tetap terjaga. Ubinnya selalu mengkilap. Motif ubin dengan warna abu-abu itu nyaris tidak menunjukkan adanya debu sama sekali. Andai Anda rebahan di permukaan ubin itu dengan mengenakan baju warna putih, dapat dipastikan baju yang Anda kenakan tidak mengalami perubahan warna.Β
Demikian pula dengan kaca pintu dan jendela. Kebersihannya selalu dipelihara. Kacanya selalu terlihat bening.
Kebersihan masjid itu memang selalu terjaga. Semua itu tidak lepas dari ketekunan marbut masjid. Β Supardi namanya. Orang-orang menyapanya Padi atau Pardi.Β
Pardi bertubuh mungil. Kulitnya cenderung kelam. Namun wajahnya tampak selalu berbinar. Dia senantiasa menunjukkan senyum khasnya.
Sudah bertahun-tahun Pardi menjalani hari-harinya sebagai marbut masjid. Tugas itu dijalankannya dengan sungguh-sungguh. Saya tidak pernah mendengarnya mengeluh, kecuali keluhan tentang kerusakan peralatan yang digunakan untuk membersihkan masjid.
Pardi hanya pernah duduk di bangku sekolah dasar. "Tidak sampai tamat", kenangnya.
Kemiskinan membuatnya putus sekolah. Pardi tumbuh dan besar dalam keluarga tidak mampu. Orang tuanya hanya memiliki sebuah pekarangan rumah yang tidak luas.
Masa kanak-kanak Pardi dilalui dalam kegetiran. Kondisi itu membuat Pardi mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari sekolah.
Pardi memilih meninggalkan kampung halamannya. Dia pergi ke kota dengan harapan menemukan kehidupan yang lebih baik.
Kedatangannya di kota ternyata tidak sebagaimana yang tergambar dalam impiannya. Di kota Pardi pernah menggelandang, tidur di kolong jembatan, mendengkur di emper toko, atau meringkuk pulas di sudut terminal.Β
Kehidupan kota ternyata lebih kejam dari yang dibayangkan. Di kampung dia bisa masih memiliki tetangga yang berbaik hati memberikannya makan walaupun tidak rutin. Di kota tidak ada belas kasihan.
Pardi harus bekerja keras. Semua dilakukannya. Pardi berjualan asongan, pemulung, tukang parkir, menjadi buruh pasar atau terminal. Kehidupan kota yang keras menuntutnya harus melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dia lakukan, mencopet. Karena ini dia pernah dipenjara.
Tidak jarang Pardi harus bertahan dengan mengandalkan kekuatan bogem dan tendangan agar tetap survive di kehidupan terminal yang keras. Persaingan antar kelompok membuatnya harus berani membuktikan diri sebagai orang yang kuat.
Kehidupan jalanan membuat Pardi melakukan apa saja. Hasil kerjanya sering harus ludes dalam hempasan kartu domino atau permainan remi dengan sesama.
Pada akhirnya Pardi lelah dengan kehidupan liar. Dia pulang kampung dan menikah. Kehidupan normalpun dijalaninya. Di kampung, Pardi berjualan kelilimg. Apa saja diperjualbelikan mulai dari arloji, pakaian bekas, radio, kipas, dan segala sesuatu yang memungkinkan untuk itu. Almarhum Ibu pernah membantu Pardi berjualan es dengan memberikan pinjaman modal.
Kini Pardi melabuhkan hidupnya di masjid. Setiap waktu sholat tiba Pardi mengumandangkan adzan dengan lengking suaranya yang khas. Suara itu tidaklah terlalu merdu. Bacaan adzan juga tidak terlalu fasih. Namun setidaknya suara itu telah berjasa mengingatkan warga di sekitar masjid bahwa waktu shalat telah tiba. Jika imam berhalangan, Pardi siap menjadi cadangan. Pardi sadar bahwa dia tidak patut menjadi imam dengan kemampuan baca al-Qur'an. Apa boleh buat. "Tak ada rotan akarpun jadi".
Dalam seminggu, dua sampai tiga kali Pardi membersihkan lantai masjid. Karpet masjid diangkat dan dijemur. Dengan teliti Pardi menggosok lantai masjid dengan alat pel yang dirancangnya sendiri. Kaca pintu dan jendela masjid juga tidak dibiarkan muram. Sebuah sapu bertangkai panjang digunakan untuk membersihkan sarang laba-laba atau debu di ketinggian dinding dan plafon masjid.Β
Kamar mandi dan tempat wudhu yang lembab kerap memicu tumbuhnya lumut. Keramik lantainya menjadi licin. Semua itu diantisipasi Pardi. Secara berkala lantai dan dinding yang terbuat dari keramik itu digosok dan dibersihkan.
Pardi melakukannya dengan ikhlas. Katanya, "Mudah-mudahan ini dapat menebus dosa saya di masa lalu."
Binatang yang paling diburu Pardi adalah cicak. Hewan yang biasa berkeliaran di dinding dan plafon itu berak sembarangan. Kotoran berukuran kecil tetapi tetap najis dan membuat shalat tidak sah kalau terinjak kaki atau melekat di pakaian.
Jika berada di ketinggian, Pardi tak kurang akal. Cicak itu diburu dengan sapu bertangkai panjang. Sebelum sempat memutuskan ekornya, tangan Pardi dengan cekatan akan menangkap dan membuang hewan itu keluar masjid.
Itulah rutinitas Pardi dalam menjalani hari-harinya sebagai marbut. Jika sakit atau meninggalkan rumah untuk beberapa hari. Pardi biasanya menitipkan pesan melalui HP kepada saya bahwa dia tidak bisa ke masjid.Β
Imbalannya yang diterima sebagai marbut tidak banyak. Mungkin tidak cukup untuk seminggu atau bisa jadi hanya untuk satu dua hari saja. Imbalan itu berasal dari warga sekitar.
Saya kerap mengajukan permohonan kepada pemerintah desa agar marbut masjid mendapatkan perhatian. Sayang permohonan itu belum mendapatkan perhatian dari pihak terkait.
Marbut masjid memang kerap dianggap sebelah mata. Tugas marbut sering disepelekan. Kita kerap melupakan peran mereka dalam menjaga fasilitas ibadah dan mengingatkan Islam lima kali sehari untuk menunaikan shalat. Banyak masjid tidak terurus karena tidak memiliki marbut. Masjid menjadi kotor dan membuat orang malas untuk singgah.
Kehidupan marbut masjid merupakan cermin kebersahajaan yang patut dijadikan teladan. Tidak banyak orang yang sanggup menjalani peran ini. Mereka yang bersedia menjadi marbut merupakan orang-orang yang mampu mereduksi keinginan duniawi yang berlebihan.
Siapa yang sanggup menjadi marbut di tengah gempuran materialisme yang makin memasung kemanusiaan kita hari ini? Marbot masjid dengan tanggung jawab yang begitu besar rela kehilangan kesempatan untuk mencari nafkah lain untuk keluarganya demi menjaga kebersihan dan kenyamanan masjid.Β
Kisah Pardi sang marbut hanya satu dari banyak kisah kesederhanaan marbut yang mendedikasikan dirinya untuk menjaga masjid agar tetap nyaman. Hal ini patut menjadi cerita akhir Ramadan. Marbot masjid yang identik dengan kesederhanaan merupakan salah satu kelompok fakir miskin yang perlu mendapatkan perhatian semua pihak. Kesejateraan marbut masjid saatnya menjadi tanggung jawab negara dan masyarakat.
Lombok Timur, 07 April 2024