Ramadhan dan Rehumanisasi Muslim
Apa yang terjadi di bulan suci Ramadhan?
Sudah tentu. Cukup banyak analisis terhadap perilaku umat Islam di bulan suci Ramadhan ini. Namun demikian, dalam pengamatan sepintas lalu, kebanyakan tulisan lebih mengarah pada tulisan-tulisan teologis, terkait dengan amalan ramadhan bagi para pemeluknya. Dalam setiap tahunnya, wacana itu muncul dan terus tumbuhkembang, dengan maksud dan tujuan untuk memulihkan kembali spiritualitas umat Islam.
Dalam konteks inilah, akan kita lihat dari sisi kajian kritis mengenai prilaku Ramadhan umat Islam, khususnya di Indonesia. Melalui kajian ini, diharapkan dapat menjadi bahan renungan, mengenai eksistensi manusia dan kemanusiaan pada masa kini, dan juga proyeksi ke masa depan.
Pertama, Ramadhan menuntut umat Islam melakukan penataan ulang pola konsumsi. Secara kuantitatif, peluang waktu untuk pola konsumsi di kurangi, dari 24 jam, menjadi setengahnya.
Secara konseptual demikian adanya. Tuntutan ini, merupakan tunturan formal dan matematis. Ramadhan mengajarkan perlunya melakukan penataan ulang pola konsumsi. Walau pada kenyataannya, ternyata, manusia dengan nafsunya sendiri malah melakukan pensiasatan sendiri untuk tetap mengkonversi konsumsinya dari pola 24 jam menjadi 12 jam.
Apakah dengan demikian, dapat dikatakan bahwa fungsi Ramadhan mengalami kegagalan dalam pembinaan mental umat Islam ? Perlu kajian lebih mendalam untuk mengukur hal ini.
Memang sulit untuk mengukur aspek spiritual atau kesalehan seseorang, tetapi bila dikaitkan dengan perubahan pola konsumsi ini, sejatinya dapat diukur secara empirik.
Kedua, Ramadhan merupakan model pemulihan mental dan orientasi hidup. Dengan memanfaatkan asumsi, bahwa selama 11 bulan lainnya, manusia banyak yang terfokuskan pada praktek kehidupan duniawi, maka dengan hadirnya Ramadhan diajak untuk membalikkan kiblat-tujuan hidup, yakni menuju puncak-puncak kesalehan, yakni ritualisme-hidup berorientasi pada nilai ilahiah.
Untuk waktu 24 jam lamanya, umat Islam diajak dan dihimbau untuk senantiasa melakukan 'penyadaran diri' dan mengarahkan kiblat hati, pikiran dan perbuatannya pada nilai-nilai kebaikan (altruism). "perbanyaklah zikir atau ibadah di bulan ramadhan", demikianlah beberapa himbauan guru ngaji, saat memberikan ceramah Ramadhan.
Ketiga, atau kita sebut saja, terakhir dalam tulisan ini, pembiassaan shalat berjama'ah, pembiasaan sedekah atau berbagi rezeki dengan sesama, mengoreksi sikap individualisme dan keserakahan jiwa. Ramadhan membudayakan sedekah, menunjukkan kritik dan koreksi sikap manusia yang kadang terjerembab terlalu jauh dalam mencintai harta dan diri sendiri, sehingga melupakan orang lain. Oleh karena itu, Ramadhan, menarik kembali jiwa sosialitas seorang muslim.
Merujuk pada perjalanan dan pengalaman itu, terikat tulisan Aroosa Kanwal (2024) berjudul, "Memanusiakan Kembali Subyektivitas Muslim" (rehumanizing muslim subjectivities). Memang tidak berkaitan langsung dengan tema Ramadhan. Buku itu mengulas ragam perlakuan buruk masyarakat dan negara kepada umat Islam di berbagai penjuru bumi, termasuk di Palestina, Myanmar atau Uighur- China. Namun demikian, istilah pemanusiaan muslim menjadi menarik untuk digunakan dalam konteks Ramadhan.