Bulan Ramadan adalah Obat bagi Jiwa yang Lelah
Bulan Ramadan menyimpan makna, pesan, dan nilai yang berharga. Namun, sebagian tidak tampak jelas ke permukaan. Beberapa di antaranya adalah harta karun yang masih harus kita gali untuk bisa mendapatkannya, atau setidaknya menyadarinya.
Meskipun bulan Ramadan hanya datang satu kali dalam satu tahun kalender Islam, bukan berarti harta karun itu hanya berlaku di bulan Ramadan kemudian hangus setelahnya. Justru, ini adalah panduan jitu untuk menarik tali busur sehingga panah yang kita lesatkan bisa melaju kencang.
Ternyata, menerapkan panduan ini tidaklah mudah, meskipun sederhana. Pandemi telah menemani Ramadan kita selama dua kali berturut-turut. Dan apa yang terjadi cukup menggelisahkan untuk disadari.
Pandemi telah hampir sempurna menyerang sisi kelemahan terbesar psikologis umat manusia: ketakutan akan hal yang tidak diketahui.
Kita dipaksa untuk duduk dalam ketidakpastian, menyaksikan perang informasi di platform mana pun, dan pada akhirnya dituntut untuk memilih informasi mana yang ingin dipercaya.
Perekonomian kacau. Pendidikan kehilangan arah. Kehidupan sosial dibatasi. Banyak di antara kita yang harus kehilangan pekerjaan, hak untuk memperoleh pendidikan, bahkan orang-orang yang dicintai.
Semua itu menimbulkan kekosongan dalam jiwa, perasaan di mana segala sesuatu tampak suram dan tidak berguna. Pikiran menjadi kacau karena rasa takut yang meningkat. Meskipun kita tahu bahwa rasa takut hanyalah bayangan, kita tetap melakukannya.
Kemudian apa yang terjadi? Kita lari dan menyibukkan diri guna memberikan makna dan harapan dalam kehidupan. Namun sayangnya, kita menjadi manusia yang berpusatĀ bagaikan seekor hamster yang berlari di dalam putaran roda.
Beberapa dari kita berpusat pada uang. Orang-orang ini menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mendapatkan uang. Rasa aman ekonomi menjadi prioritas demi memperoleh peluang dasar untuk bisa berbuat banyak dalam berbagai dimensi.
Sebagian lagi ada yang berpusat pada pekerjaan. Mereka menjadi "pecandu kerja" dengan mendorong diri untuk tetap produktif, bahkan rela mengorbankan kesehatan, hubungan, dan bidang-bidang penting lain dari kehidupan mereka.
Sebagian yang lain berpusat pada harta, kesenangan, bahkan musuh. Memang semua ini membuat kita menjadi sibuk. Kesibukan membuat kehidupan terasa bermakna. Namun, kita terlalu dangkal.