Membedah Tabir Singkat Ramadhan
Makna puasa secara bahasa itu sendiri menurut bapak tasawuf Islam modern Imam Al-Ghazali dalam karyanya Mukhtashor Ihya Ulumiddin bab enam (rahasia-rahasia puasa), puasa merupakan menahan dari masuknya sesuatu kedalam lambung, maka rusaklah puasaa seseorang dengan mengkonsumsi makanan atau minuman, memasukan sesuatu melalui hidung, dan juga suntik. Namun tidak halnya dengan bekam, bercelak, dan memasukan obat melalui lubang kemaluan dan telinga, kecuali ada suatu yang menetes dari dalam telinga yang menuju ke kantung kemih. Sedangkan menurut terminology Syeikh Zain bin Ibrahim bin Zain bin Smith berkata dalam karyanya "At-Taaqriirat as-sadidah fii al-masail al-mufidah" (Edisi ketiga 1425 H/2004) puasa merupakan menahan segala sesuatu yang membatalkan dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya Matahari dengan adanya niat khusus.
Keutammaan yang terdapat dalam ibadah puasa sangatlah banyak jumlahnya, terkhusus ibadah itu dilakukan pada bulan Ramadhan yang penuh degan keberkahan. Dalam hadits qudsinya disebutkan "Setiap kebaikan berlipat sepuluh turunannya hingga mencapai tujuh ratus kelipatan kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang membalasnya."
Adapun tingkatan puasa menurut kitab Mukhtashor Ihya Ulumiddin pada pembahasan rahasia-rahasia puasa, ibadah puasa ini dibagi menjai tiga kriteria atau tiga klasifikasi. Pertama adalah puasa umum yaitu ibadah menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa dari makan, minum dan seperti penjelasan yang telah dibahas diatas. Kedua puasa khushus yakni puasa umum serta menahan segala potensi maksiat yang timbul dari diri kita, baik pendengaran, penglihatan, ucapan dan apapun dari segala anggota tubuh yang berpotensi melakukan kemaksiatan. Ketiga khushushul khushus yaitu merupakan gabungan dari dua jenis puasa diatas dengan tambahan puasanya hati dan pikiran dari segala hal yang bersifat dunia yang melalaikan kepada Allah SWT.
Ketika mentari merundukkan dirinya, itulah saat yang mengisyaratkan kedatangan waktu shalat maghrib, serta saat yang dijadikan sebagai awal berbuka puasa. Sebelum datangnya waktu berbuka puasa umat Islam dari berbagai kalangan, mulai dari remaja hingga ibu-ibu yang bergaya hidup mewah, melaksanakan aktivitas masing-masing. Ada yang membuka gerai di pinggir jalan atau di tempat-tempat khusus takjil, dengan niat tulus menawarkan ragam hidangan takjil. Sebagian lainnya mencari takjil sambil menghabiskan waktu, dalam apa yang dikenal sebagai ngabuburit, untuk menjadi sajian berbuka puasa nanti. Ini menjadi suatu momen yang begitu indah dan dirindukan oleh seluruh orang, baik itu yang melakukan ibadah puasa tersebut ataupun bagi yang tidak menunaikanya, karena tidak sedikit dari orang yang beragama non-islam pun ikut meramaikan keindahan dan keistimewaan momen-momen tersebut.
Hal yang perlu diketahui bahwasanya berbuka puasa pada waktu yang telah ditentukan adalah umum adanya dan menjadi hal yang wajib dilakukan bagi umat yang telah melakukan ibadah tersebut. Namun, dalam ini ada himbauan yang cukup penting dan alangkah baiknnya ketika mengetahui dan memahami betul hal berikut, yakni seperti dalam hal berbuka puasa umat Islam tidak diperkenankan untuk berbuka dengan kapasitas yang terlalu berlebih, dalam artian terlalu merasa kenyang. karena bulan Ramadhan bukanlah suatu momen untuk dijadikannya waktu pembalasan dalam hal makan, sebab hal tersebut tidaklah disukai oleh Allah SWT, sampai dikatakan bahwa banyak dari sekian ribu umat Islam yang melakukan ibadah puasa hanya mendapatkan rasa lapar dan haus semata tanpa mendapatkan nilai-nilai inti dibalik agungya ibadah tersebut dimana Allah SWT sendirilah yang akan membalasnya langsung.
- Tarawih
Bulan Ramadhan juga dihiasi dengan adanya ibadah sholat sunnah tarawih, sholat tarawih dilaksanakan setelah selesainya ibadah sholat isya. Sejarah mengatakan sholat tarawih ini tidaklah menjadi suatu kewajiban bagi umat Nabi, oleh karenanya Nabi Mumammad SAW juga tidak melakukan atau mengejarkan untuk melakukan sholat tarawih seacara penuh selama Ramadhan. Hal itu dilakukan bukan karena Nabi malas atupun tidak mampu untuk melakukaknya, melainkan Nabi Muhammad SAW khawatir akan adanya klaim dari umatnya yang mengwajibkan sholat tarawih secara penuh. Dalam suatu riwayat yang masyhur yaitu Nabi hanya keluar untuk melakukan sholat tarawih pada malam ke dua puluh tiga, dua puluh lima, dan dua puluh tujuh. Kemudian dalam rokaat sholat tarawih pun ada perbedaan pendapat, ada yang mengatakan delapan rokaat dan ada yang berpendapat dua puluh rokaat.
Syekh Kh. Ali Ma'sum Al-jogjawi berpendaapat dalam karyanya Hujjah Ahlussunnah Waljama'ah bab keempat dalam hadist yang di riwayatkan oleh Imam Bukhori Muslim dikatakan bahwasanya Nabi Muhammad SAW keluar dari kediamannya untuk melakasanakan sholat tarawih di masjid secara berjamaah pada malam ketiga, kelima, dan kedua puluh tujuh sebanyak delapan rakaat yakni dengan empat kali salam, dan menyempurnakan rakaat sisanya di rumahnya masing-masing yakni sampai genap duapuluh rakaat, dengan argumentasi terdengarnya suara gemuruh seperti gemuruhnya lebah di rumah-rumahnya (bacaan Al-Qur'an). Namun benar adanya bahawasanya Nabi ketika itu tidak menyempurnakan rakaat tersebut di masjid.
Jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 20 tanpa witir, sesuai dengan praktik yang telah dilakukan oleh Sayyidina Umar bin Khattab dan kebanyakan sahabat lainnya, yang telah disetujui oleh umat Islam. Persetujuan ini berasal dari mayoritas ulama dari generasi awal hingga saat ini, termasuk masa sahabat Umar, dan telah menjadi ijma' sahabat serta kesepakatan mayoritas ulama dari berbagai mazhab: Syafi'i, Hanafi, Hanbali, dan mayoritas Maliki. Meskipun dalam mazhab Maliki terdapat perbedaan pendapat, antara 20 rakaat dan 36 rakaat, berdasarkan riwayat hadis dari Imam Malik bin Anas, yang menyatakan bahwa Imam Darul Hijrah Madinah berpendapat bahwa shalat tarawih dapat dilakukan antara 20 hingga 36 rakaat, dengan tiga di antaranya sebagai shalat witir. Imam Malik sendiri memilih untuk melaksanakan 8 rakaat, namun mayoritas pengikut mazhab Maliki mengikuti pendapat mayoritas dari mazhab Syafi'i, Hanbali, dan Hanafi yang menegaskan bahwa shalat tarawih terdiri dari 20 rakaat. Hal ini dipandang sebagai pendapat yang lebih kuat dan telah disepakati oleh mayoritas ulama secara menyeluruh.
Pendapat ini diperkuat dengan adanya dalil hadist yang diriwayatkan Sa'id bin Yazid :
: ( )
Artinya: "Dari Sa'ib bin Yazid, ia berkata, 'Para sahabat melaksanakan shalat (tarawih) pada masa Umar ra di bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat," (HR. Al-Baihaqi, sanadnya dishahihkan oleh Imam Nawawi dan lainnya)