Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com
Berburu Takjil Favorit Jangan Sampai Membuat Sakit
Bagaimana shaum pertama Anda hari ini? Lalu, apa menu sahur dan (terutama) buka yang baru saja dikonsumsi? Pastinya, apapun menu takjilnya, menu sehat dan seimbang jadi prioritas utamanya. Sudah jadi rahasia umum, menjelang berbuka, (banyak) orang yang lapar mata, termasuk saya hehehe...
Seolah ingin menuntaskan rasa lapar dan dahaga selama puasa, tak sedikit orang yang membeli takjil ini dan itu. Mulai dari gorengan, aneka rupa es, kue tradisional, dan masih panjang lagi daftarnya. Tambah lapar mata ketika menjumpai takjil favorit yang menggoda selera.
Pasti pernah kan ya mengalami hasrat berbelanja (yang luar biasa) sebelum berbuka puasa? Rencananya hanya ingin membeli kolak pisang dan gorengan. Eh, di jalan ada penjual bubur sumsum. Beli deh supaya buka lebih kenyang. Jalan sedikit ke depan, ada abang yang cilok dan cirengnya enak buat mengganjal perut. Ada tukang es cendol, seger juga buat buka.
Ketika adzan Maghrib bergema, mulailah takjil itu dikonsumsi satu persatu. Tapi, ujung-ujungnya, kita tidak (akan) mampu menghabiskan semuanya, tak terkecuali takjil favorit yang didamba. Saking banyaknya menu buka puasa, kita jadi sudah kenyang duluan melihatnya.
Selain itu, tak semua takjil itu kualitasnya oke lho. Sebagai pecinta aneka rupa bubur manis sebagai menu takjil, saya semakin selektif dalam memilih salah satu dari mereka sebelum berbuka puasa. Sehari cukup satu jenis bubur saja supaya tidak eneg karena rasanya manis.
Di luar jenis takjilnya, saya juga belajar untuk semakin hati-hati dan teliti sebelum mampir ke penjual takjil. Baik mereka berjualan di pinggir jalan maupun pedagang takjil keliling, harga menjadi prioritas kedua. Bersih dan sehatnya menjadi kriteria utama saya saat berburu takjil.
Memang tidak gampang untuk mengetahui hingga sedetil mungkin tentang kebersihan takjil yang akan kita beli setiap sore. Namun, secara kasat mata, ada empat cara sederhana untuk mengetahui layak tidaknya suatu takjil untuk kita beli dan konsumsi.
Warna takjil (terlalu) menyala patut menimbulkan curiga
Entah mengapa, penjual makanan dan minuman menjadi semakin kreatif di kala Ramadan tiba. Seolah-olah berlomba mencari pembeli, mereka (hampir) menghalalkan segala cara agar takjil jualannya laris manis tak tersisa. Kalau perlu, pewarna kain pun untuk mewarnai makanan!
Saat kuliah dulu, ada teman kost saya yang suka betul dengan kue lapis tiap kali buka puasa. Jadilah dia selalu membeli 4 -- 5 buah kue lapis setiap sore selama Ramadan. Kebetulan dia memang sudah punya langganan yang membuka kios tak jauh dari pintu masuk kampus.
Satu waktu, kios langganannya tutup. Enggan melewatkan buka tanpa kue lapis, dia mencari ke sana-sini. Dapatlah dia kue lapis dari penjual kue keliling. Saat melihat warna merah kue lapisnya, saya sudah merasa aneh. Pikir saya, "Kok merah banget ya warnanya?"
Tapi, saya tak tega untuk mengingatkannya tentang keganjilan itu. Kue lapis kan takjil favoritnya. Nah saat memakan baru satu buah, dia sudah merasa pahit. Tapi masih diteruskannya. Lapis kedua pun terasa sama. Dia memilih berhenti menyantapnya. Untung di kos kami, ada senior dari jurusan kimia. Dua kue lapis sisa itu pun dititipkannya ke senior kami untuk dicek di laboratorium pangan. Hasilnya? Kue lapis itu (positif) memakai pewarna kain, hiiy!
Aroma takjil dapat menentukan kualitas kesegarannya untuk dikonsumsi
Selain warna, kita juga bisa mengetahui kualitas takjil yang (masih) layak makan dari aromanya. Bahan pangan yang tinggi lemak, termasuk santan kelapa, dan minyak cenderung mengeluarkan bau tengik saat sudah tak segar lagi sekalipun warnanya masih normal.
Kolak yang berbahan santan itu pun rentan rusak saat disimpan di suhu ruang (bukan dalam lemari es) dalam waktu lama. Saya ingat, pernah membeli kolak biji salak yang masih hangat di pinggir jalan untuk buka bareng di kampus. Saat dibuka, baunya sudah asem, parah!
Otomatis kolak tersebut urung kami konsumsi. Untung harganya tak mahal. Tapi kan tetap sayang alias mubazir juga kan ya dengan membuang makanan seperti itu? Setelah itu, saya hanya membeli kolak yang dari awal ditaruh di lemari es atau disimpan dalam kotak es.
Memang sih, rasa kolaknya jadi tak semanis jika masih hangat ataupun tak dingin. Namun, tak mengapalah selama (masih) lezat dan sehat untuk disantap. Panganan bersantan itu bukan untuk dibiarkan lama-lama di udara terbuka karena kandungan lemaknya yang tinggi.
Rasa takjil yang terlampau ini-itu bisa jadi pertanda bahaya
Jelas rasa gurih gorengan buat banyak orang ketagihan untuk mengonsumsinya sebagai takjil favorit. Tapi, kalau gorengannya (terlalu) gurih, hmm. Tak tertutup kemungkinan, gorengan itu penyedap dan garamnya, full! Bagi yang sehat tak akan terasa dampaknya.
Lain cerita bagi penderita radang tenggorokan. Yang ada, malam atau esok harinya, kemungkinan besar dia akan batuk-batuk sepanjang hari karena tenggorokannya gatal. Tapi, selama puasa, mana bisa dia (sering-sering) minum air putih untuk meredakan gatal tersebut?
Rasa takjil yang terlalu manis pun bisa membuat batuk. Itu karena gulanya adalah pemanis buatan, bukan gula murni, yang tidak semua orang sanggup mengonsumsinya karena berpotensial menimbulkan batuk. Sayangnya, gula itu harganya murah sehingga menekan biaya.
Amannya, untuk gorengan, kalau sempat, buat sendiri aja. Kalau tak sempat, idealnya kita bisa beli di penjual yang kualitas bahan baku dan minyak gorengnya sudah kita tahu pasti. Tak apa gorengannya (sedikit) lebih mahal asal tak membuat tenggorokan pembelinya nanti gatal.
Tekstur takjil baiknya diperhatikan agar tak menyesal kemudian
Makanan yang sudah mulai basi salah satu cirinya adalah lembek dan berlendir. Bagi pecinta kue basah, tak terkecuali lemper, pasti tahu ciri-ciri lemper yang sudah tak layak dikonsumsi. Saat dibuka bungkusnya, lemper sudah tak padat dan terlihat lender di permukaannya.
Begitu pula dengan bubur atau makanan bersantan. Satu waktu, saya batal membeli bubur sumsum karena terlihat teksturnya sudah tak sepadat bubur yang baru dimasak. Kadangkala, penjual takjil menjual kembali takjilnya yang kemarin belum laku dipasarkan.
Kue basah yang masih segar juga terasa kenyal saat dipegang. Tapi kalau mulai busuk apalagi sudah basi, tak akan sekenyal sebelumnya. Sekalipun warna dan aromanya belum menunjukkan tanda-tanda kebusukan, namun teksturnya seringkali tak bisa mengelabui.
Apalagi bagi orang berpuasa. Kan jelas tak bisa mencicipinya jadi rasanya belum terdeteksi tuh. Maka, uji tekstur bisa menjadi penyelamat saat warna dan aroma tak akurat. Jari-jari manusia itu memiliki ribuan sel saraf perasa yang mampu menandai benda yang disentuhnya.
Tentunya keseruan berburu takjil favorit itu selalu ditunggu bagi orang yang (benar-benar) berpuasa sepanjang hari. Namun, patut diingat, keasyikan membeli takjil favorit itu jangan sampai melenakan pembelinya, terutama aspek kesehatan dan kesegaran takjil. Hal itu agar hingga akhir Ramadan, tubuh kita tetap prima untuk menyambut Lebaran yang menyenangkan.