Kuli otak yang bertekad jadi penulis dan pengusaha | IG : @nodi_harahap | Twitter : @nodiharahap http://www.nodiharahap.com/
Perlukah Kita Berpuasa Media Sosial Selama Ramadan?
Arus informasi yang serba cepat ibarat anak kandung era digital. Cukup bermodal gawai dan kuota internet, kita bisa mendapatkan informasi apa saja dengan begitu mudah.
Mau mencari jurnal kredibel untuk mendukung penelitian, bisa. Ingin menemui produk makanan kucing yang paling sarat gizi, juga bisa. Termasuk melihat jadwal beduk magrib di daerahmu sebagai acuan waktu berbuka saat puasa Ramadan.
Hanya saja, di balik segala kemudahan tadi, digitalisasi juga faktanya banyak menimbulkan kolateral.
Dalam konteks itu, kebenaran informasi menjadi ihwal yang patut dipertanyakan. Bagi sebagian oknum tak bermoral, kecepatan internet seringkali dimanfaatkan untuk menebar dusta untuk kepentingan pribadi. Hoaks, istilah kerennya.
Kominfo mendeteksi sedikitnya 800.000 situs di Indonesia yang telah teridentifikasi sebagai penyebar informasi palsu. Celakanya, tidak sedikit pula masyarakat yang mempercayainya. Bahkan tanpa sengaja ikut menyebarkannya.
Media sosial juga kerap disalahgunakan oleh para pelaku kejahatan finansial. Mulai dari undangan pernikahan palsu, iklan artifisial, hingga SMS yang memuat tautan situs bohong-bohongan. Tujuannya tidak lain membuat korban teperdaya lantas dikuras habis dananya.
Belum cukup sampai di sana, perilaku pengguna sosial juga kian ekspresif. Saya gunakan kata “ekspresif” agar terasa lebih sopan ketimbang “karut-marut”. Misalnya saja perilaku flexing atau pamer kekayaan yang tengah menjamur di kalangan pengguna media sosial.
Bagi mereka yang tidak siap, kesehatan mental jadi taruhannya. Gara-gara sering memelototi linimasa, timbullah perilaku social comparison atau membanding-bandingkan pencapaian diri sendiri dengan kesuksesan orang lain.
Padahal, apa yang terpampang di media sosial belum tentu mencerminkan fakta sebenarnya. Lihat saja kasus Indra Kenz atau Doni Salmanan. Pura-pura kaya untuk menggenapi modus investasi bodong yang gencar dipromosikan.
Jika tidak segera diperbaiki, perilaku social comparison ini bisa merembet ke mana-mana. Mula-mula sekadar keki. Lama-lama jadi depresi. Kalau sudah sampai ke fase ini, muaranya bisa berujung ke tindakan kriminal atau bunuh diri.
Naudzubillah min zalik!
Puasa Media Sosial
Berbagai dampak negatif dari media sosial kemudian menimbulkan gerakan tandingan. Salah satunya adalah berpuasa media sosial yang pada intinya bertujuan untuk menjaga kesehatan mental.
Anggapan ini tidak salah. Paling tidak, itu dibuktikan oleh hasil penelitian Ratnasari & Oktaviani (2019).
Penelitian bertajuk “A Phenomenal Study of Instagram Fasting on Millenial” itu menyimpulkan puasa media sosial dapat bermanfaat meningkatkan produktivitas, fokus, berpikir positif, dan mengurangi perilaku social comparison.
Usai berpuasa media sosial, intensitas mengakses media sosial jadi jauh berkurang. Mereka juga memiliki kecondongan untuk mengikuti akun-akun yang lebih positif, sehingga terdapat perubahan cara pandang dalam mengakses media sosial.
Berbagai manfaat positif tadi membuat banyak pakar dan psikolog menyarankan penderita kesehatan mental berpuasa media sosial. Lantas apakah puasa media sosial adalah syarat mutlak menjaga kesehatan mental?
Tentu saja jawabannya tidak.
Saya lebih setuju dengan sebagian pendapat yang menyatakan kita harus lebih selektif dalam bermedia sosial ketimbang wajib puasa media sosial. Internet sejatinya serupa dengan koin bermata dua. Ada sisi negatif, tetapi jangan lupakan sisi positif.
Selektif bermedia sosial artinya pandai memilah informasi sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan kita. Kalau mengikuti akun media sosial artis ternama ternyata membuat kita jadi rendah diri, ya, jangan diikuti. Sesimpel itu.
Jika kita mengesampingkan faktor negatif, sejatinya banyak sisi positif dalam bermedia sosial. Utamanya meningkatkan konektivitas sosial. Lewat media sosial, kita jadi terhubung dengan sanak saudara atau anggota keluarga yang jauh dari jangkauan.
Kita juga bisa terhubungan dengan berbagai komunitas yang memiliki minat atau hobi yang sama. Di samping itu, asal jeli dalam memilih dan memilah, media sosial juga berperan sebagai sumber informasi kredibel yang kita butuhkan.
Hanya saja, memang kita perlu membatasi diri. Terlalu banyak scrolling linimasa tidak baik bagi kesehatan tubuh dan mental. Apalagi menjelang tidur. Bisa-bisa kebablasan lantas kelewatan sahur.
Secukup dan seperlunya saja. Jika kamu seorang warganet biasa, ya, ikuti saja akun-akun yang positif untuk kebutuhanmu. Jangan ikuti akun-akun yang bakal membuatmu FOMO dan enggak bisa tidur.
Lain soal jika kamu seorang content creator yang memang mencari cuan di ranah digital. Mana mungkin kamu bisa berpuasa media sosial? Sebaliknya, kamu harus selalu update dengan tren yang diminati warganet agar selalu kekinian.
Selektif di Bulan Ramadan
Bicara soal selektif bermedia sosial, saya rasa kita pasti sepakat bahwa takarannya mesti ditingkatkan selama bulan Ramadan. Dengan kata lain, kita perlu lebih selektif dalam bermedia sosial ketika bulan puasa.
Mengapa demikian?
Alasan utamanya supaya amal ibadah puasamu tidak berkurang. Kan, jadinya enggak lucu jika menonton konten akun reviewer kuliner di siang bolong lantas jadi tergiur untuk ngebatalin puasa saat azan zuhur. Amit-amit, deh!
Di samping itu, jangan pula menonton dan menyebarkan konten berbau fitnah, kebohongan, apalagi pornografi. Bisa-bisa puasamu diterima tapi enggak dapat pahala dari Sang Pencipta.
Sebaliknya, gunakanlah media sosial untuk menambah pundi-pundi pahala. Menonton kajian atau ceramah religi saat senggang contohnya. Selain memperoleh informasi yang benar soal tuntunan beragama, bonusnya kita juga bisa menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.
Dan tentu saja, jangan lupa ikuti akun yang memuat konten jadwal imsakiyah. Cocokkan jadwalnya dengan menyetel alarm di ponsel. Supaya kamu bisa mengatur waktu berbuka dan enggak kelewatan sahur.
Lagipula, esensi berpuasa itu tidak sekadar menahan lapar dan haus. Esensi berpuasa adalah meningkatkan kualitas ibadah dengan membiasakan diri mengerjakan aktivitas yang bernilai positif.
Dalam konteks itu, media sosial adalah salah satu wadah buat kamu untuk beramal. Misalnya saja dengan menyebarkan informasi soal makna ayat suci Al Quran, atau mengajak orang lain untuk bersedekah ke panti asuhan.
Menebar Cerita Positif Lewat Diari Ramadan
Orang bijak pernah berpesan, “Cara mengurangi dampak negatif dari media sosial adalah aktif menyebarkan konten positif dan kredibel. Supaya isi linimasa media sosial senantiasa dipenuhi hal-hal positif.”
Saya setuju seratus persen dengan pernyataan tadi. Salah satu cara saya menebar positivisme di media sosial selama Ramadan adalah dengan mengikuti kompetisi Diari Ramadan Kompasiana.
Saban kelar buat konten, saya selalu mengeposnya di media sosial. Bahkan, di beberapa tantangan, Kompasiana mewajibkan peserta kompetisi untuk membuat konten secara langsung di Instagram.
Tantangan hari ke-19, contohnya. Peserta diminta membuat konten Instagram Reels dengan tema “Olahraga Saat Puasa”. Saya menyanggupi tantangan itu dengan membuat artikel, yang di dalamnya memuat video berdurasi 60 detik, bertajuk “Tetap Sehat Berpuasa dengan Berolahraga”.
Jadi, mana mungkin kita, peserta kompetisi Diari Ramadan, yang tengah berjuang menggenapi tantangan tiga puluh hari membuat konten secara berturut-turut bisa puasa media sosial?
Untuk itu, mari kita ubah pola pikir kita sedikit. Di bulan Ramadan, semestinya kita lebih banyak dan aktif membuat konten bernada positif di media sosial. Siapa tahu konten-konten itu memberikan inspirasi bagi warganet untuk berlaku positif pula.
Setuju? [Adhi]