Noer Ashari
Noer Ashari Operator

Operator Madrasah : - Operator data EMIS (Education Management Information System) - Operator data Simpatika Kemenang - Operator E-RKAM BOS Kemenag - Operator Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus - Teknisi ANBK dari Tahun 2017 s.d sekarang (dulu masih UNBK namanya) Mencoba untuk menuangkan keresahannya melalui artikel di Kompasiana, tapi lebih banyak tema yang diluar dari konteks pekerjaan. More info: asharinoer9@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

Bukber Itu Harusnya Menyenangkan, Bukan Ajang Pamer atau Paksaan

20 Maret 2025   03:16 Diperbarui: 20 Maret 2025   11:05 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bukber Itu Harusnya Menyenangkan, Bukan Ajang Pamer atau Paksaan
ILUSTRASI Buka Puasa Bersama (Bukber) bersama Teman. | KOMPAS.com/KRISNA DIANTHA AKASSA 

Bukber, alias buka bersama, seharusnya jadi momen seru untuk kumpul bersama teman lama, nostalgia, dan menikmati suasana Ramadan. 

Idealnya, bukber itu ajang silaturahmi yang membuat orang senang, bukan malah jadi beban atau ajang pamer pencapaian. 

Tapi kenyataannya, makin ke sini banyak rencana bukber yang batal atau kurang diminati. 

Grup alumni ramai-ramai bahas kapan dan di mana bukber, tapi ujung-ujungnya hanya wacana semata. 

Yang daftar banyak, yang datang hanya segelintir. Kenapa bisa begitu? Ada banyak alasan, mulai dari kesibukan, lokasi yang jauh, sampai alasan yang lebih personal seperti tidak nyaman bertemu orang tertentu atau merasa tidak ada lagi yang bisa dibahas.

Di usia dewasa, banyak yang mulai merasa bahwa bukber bukan lagi sekedar makan bareng, tapi juga bisa jadi ajang perbandingan hidup. 

Dulu sama-sama di kelas, sekarang ada yang kariernya sukses, ada yang masih berjuang, ada yang sudah menikah, ada yang sudah punya momongan dan ada juga yang masih single.

Pertemuan yang harusnya membuat bahagia malah membuat beberapa orang minder atau tertekan. Ada juga yang dulu punya kenangan kurang menyenangkan, seperti pernah dibully atau diabaikan di masa sekolah. 

Jadi wajar kalau ada yang lebih memilih tidak datang daripada harus menghadapi situasi yang membuat tidak nyaman. 

Pertanyaannya, apakah bukber masih jadi ajang silaturahmi yang menyenangkan atau malah berubah jadi beban sosial? 

Kalau harus datang dengan rasa terpaksa, takut dibanding-bandingkan, atau tidak nyaman karena alasan pribadi, berarti ada yang salah dengan konsepnya. 

Bukber seharusnya jadi momen happy, bukan ajang pamer atau tekanan sosial. Kalau ada yang memilih tidak ikut, itu hak mereka. Bukber itu pilihan, bukan kewajiban.

Bukber, yang seharusnya jadi ajang kumpul seru, bagi sebagian orang justru terasa seperti "ujian sosial." 

Ada yang datang dengan senang hati, tapi ada juga yang ikut karena takut dicap sombong atau antisosial. 

Kadang, ada tekanan tersirat, entah dari teman lama yang terus mengajak, atau dari anggapan bahwa "kalau tidak datang, berarti sudah lupa dengan teman-teman." Padahal, tidak semua orang nyaman atau siap untuk hadir di acara seperti ini.

Bagi sebagian orang, bukber bukan sekedar makan bersama, tapi berubah jadi ajang pamer pencapaian. 

Obrolan yang dulu seputar tugas sekolah atau gosip ringan, sekarang bisa beralih ke pertanyaan seperti:

- "Sekarang kerja di mana?" 

- "Udah nikah belum?"

- "Gaji kamu udah dua digit belum?"

Bagi yang hidupnya sedang stabil atau bahkan sukses, mungkin pertanyaan-pertanyaan itu tidak masalah. 

Tapi bagi yang masih berjuang, sedang terkena masalah keuangan, atau belum sesuai ekspektasi hidup, pertanyaan-pertanyaan seperti itu bisa bikin down. 

Bukber yang seharusnya jadi ajang silaturahmi malah berubah jadi sesi perbandingan kehidupan. 

Misalnya, ada seorang alumni yang dulu dikenal sebagai juara kelas. Orang-orang mungkin berharap dia sekarang punya karier yang cemerlang. 

Tapi kenyataannya, dia masih berjuang cari pekerjaan yang cocok atau bahkan sedang dalam fase sulit. 

Dia pun berpikir dua kali untuk datang ke bukber karena tidak mau ditanya-tanya hal yang membuat dia semakin merasa gagal. Bukannya senang bisa reuni, yang ada malah stres dan minder.

Belum lagi kalau ada yang datang dengan "pencapaian" tertentu dan secara tidak langsung pamer. 

Misalnya, ada yang bawa mobil baru dan sengaja parkir di depan restoran agar dilihat semua orang, atau yang sibuk cerita soal bisnisnya yang sukses, tanpa sadar membuat orang lain jadi merasa kurang.

Bukber seharusnya jadi ajang silaturahmi yang nyaman untuk semua orang, bukan sekedar tempat untuk update status sosial. 

Kalau akhirnya orang datang karena takut dikucilkan atau malah pulang dengan perasaan minder, berarti ada yang salah dengan cara kita melihat konsep bukber itu sendiri.

Banyak dari mereka yang berpikir, "Ah, kalau nggak mau ikut bukber berarti dia sombong atau nggak mau bersosialisasi." 

Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu. Ada banyak alasan kenapa seseorang memilih untuk tidak datang, dan semuanya valid. 

Tidak semua orang bisa atau mau hadir di acara yang, bagi mereka, justru lebih banyak bebannya daripada kesenangannya.

Bagi sebagian orang, bukber bukan hanya sekedar kumpul, tapi juga berarti ketemu lagi dengan orang-orang dari masa lalu—dan tidak semuanya membawa kenangan indah. 

Ada yang pernah dibully di sekolah, ada yang pernah dijauhi tanpa alasan jelas, atau mungkin ada konflik lama yang belum selesai.

Bayangkan, kamu dulu pernah dibully atau dipermalukan sama seseorang, lalu sekarang harus duduk satu meja dan pura-pura akrab? 

Rasanya pasti tidak nyaman. Maka dari itu, banyak yang lebih milih menghindar daripada harus bertemu lagi dengan sosok yang dulu membuat mereka merasa tidak berharga.

Bukber kadang juga berarti keluar uang lebih, terutama kalau tempat yang dipilih cukup fancy atau ada "kewajiban" untuk patungan. 

Bagi yang kondisi finansialnya sedang tidak bagus, ikut bukber bisa jadi beban. Mau menolak karena alasan uang, tapi takut dianggap perhitungan. Mau datang, tapi nanti kepikiran pengeluaran.

Selain itu, ada juga yang lagi dalam fase hidup yang berat, misalnya baru kehilangan pekerjaan, baru mulai cicilan, atau sedang menghadapi masalah keluarga. 

Lagi struggling, eh malah harus ketemu orang-orang yang mungkin tidak mengerti kondisinya. Alih-alih merasa lebih baik, yang ada malah tambah stres.

Salah satu alasan paling umum kenapa orang malas bukber adalah karena obrolannya sering kali berubah jadi sesi compare life achievements. Awalnya ngobrol santai, tiba-tiba ada yang nanya:

- "Udah kerja di mana sekarang?"

- "Gaji udah dua digit belum?"

- "Aku udah nikah nih, Kamu Kapan nyusul?" 

Bagi yang hidupnya sedang sesuai jalur, pertanyaan ini mungkin tidak masalah. Tapi bagi yang masih berjuang atau punya jalan hidup berbeda, ini bisa membuat mereka merasa kurang atau tertinggal. 

Apalagi kalau ada yang jawabnya dengan nada merendahkan, kayak "Wah, kamu masih di situ-situ aja? Temen kita yang lain udah punya bisnis sendiri loh."

Bukannya happy karena bertemu teman lama, yang ada malah pulang dengan kepala penuh pikiran, merasa tertinggal, atau bahkan minder.

Bukber Seharusnya Bebas dari Tekanan

Tidak semua orang yang menolak bukber itu berarti sombong atau lupa dengan teman lama. 

Kadang, mereka hanya ingin menjaga kesehatan mentalnya sendiri. Bukber seharusnya jadi ajang untuk senang-senang dan nostalgia, bukan ajang evaluasi hidup atau paksaan sosial. 

Kalau ada yang memilih tidak ikut, ya sudah, hargai saja. Karena yang namanya pertemanan itu bukan diukur dari datang atau tidaknya ke satu acara, tapi dari bagaimana kita tetap saling memahami dan menghargai pilihan masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Content Competition Selengkapnya

28 Mar 2025
SEDANG BERLANGSUNG

Suka Duka Menyiapkan Sajian Idul Fitri

blog competition  ramadan bercerita 2025  ramadan bercerita 2025 hari 26 
29 Mar 2025

MYSTERY TOPIC

Mystery Topic 7

blog competition ramadan bercerita 2025 ramadan bercerita 2025 hari 27
30 Mar 2025

Surat Cinta untuk Ramadan Tahun Depan

blog competition ramadan bercerita 2025 ramadan bercerita 2025 hari 28
Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Nunggu Bedug Makin Seru di Bukber Kompasianer

Selain buka puasa bersama, Kompasiana dan teman Tenteram ingin mengajak Kompasianer untuk saling berbagi perasaan dan sama-sama merefleksikan kembali makna hari raya.

Info selengkapnya: KetemudiRamadan2025

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun