Tradisi Perang Sarung yang Kini Mulai Hilang
Kisah ini mungkin dimulai sejak masa pemerintahan Gus Dur di tahun 1999 berjalan. Kebijakan libur selama satu bulan penuh di kala bulan Ramadhan 1419 H silam, membuat ragam permainan anak-anak berkembang dengan kearifan lokalnya. Ialah "Perang Sarung", yang sangat fenomenal pada masanya.
Kebiasaan anak-anak "ngabuburit" lantaran liburan panjang, dapat dikatakan sebagai asal muasal permainan ini berkembang. Walau kini mengalami bias makna dan tujuan. Dahulu kegiatan ini kerap dilakukan secara berkelompok, dari circle pertemanan pada sebuah kampung atau daerah tertentu.
Anak-anak pada sebuah kampung kerap membagi dirinya menjadi dua kelompok dalam memainkan permainan ini. Tidak ada unsur emosi ataupun dendam ketika permainan ini dilakukan. Terkadang, diantara yang paling "jago" pada "pertempuran" selanjutnya berpindah tim dengan yang lainnya. Semua dilakukan atas dasar kesenangan semata, nyaris tidak ada unsur dendam dibelakangnya.
Hal ini dapat dibuktikan dengan kebiasaan anak-anak yang kerap membuat strategi menarik ketika melakukan "pertempuran". Ada yang tiba-tiba menyerang dari persembunyian, atau bahkan ada yang niat mengitari gang, hanya untuk dapat melakukan serangan dadakan dari belakang. Sampai salah satu kelompok menyatakan menyerah, kalah.
Jadi, bukan sekedar adu jago dalam posisi saling serang. Terkadang adu gengsi dalam jenis sarung yang dipergunakan pun menjadi ajang bukti kekuatan "senjata". Konon sarung bertekstur kasar sangat besar "damage"nya jika mengenai lawan. Ataupun merk sarung yang halus, kerap membuat bekas "selepetan" menjadi merah merona.
Yup, adu "selepetan", atau "gebokan", jurus yang paling efektif dalam menjatuhkan lawan. Dengan posisi saling berhadapan atau random seperti permainan bentengan. Permainan yang biasanya berlanjut selepas sholat magrib, dan jeda pada waktu tarawihan. Biasanya pun dilanjutkan hingga mamak-mamak kita sudah memanggil untuk pulang.
Dari dulu memang, mamak adalah wasit terhebat dalam "membubarkan" sebuah permainan anak-anak. Poin utama yang dapat diambil dari permainan ini tentu saja adalah keberanian. Menemukan jati diri sejak usia kanak-kanak pada masa lalu, memang sangat berbeda dengan era digital saat ini.
Walau seiring perkembangan zaman, perang sarung ini mengalami pembiasan makna. Lantaran kerap memancing aksi saling serang antar kelompok yang melibatkan daerah lain. Nah, disinilah titik utama pergeseran makna dari permainan ini. Aksi saling balas justru kerap menggunakan senjata tajam, dan bukan pakai sarung seperti latar belakangnya.
Atau bahkan, sarung yang dipakai, dimodifikasi sedemikian rupa untuk dapat melukai secara fatal. Biasanya dalam "gebokan" diisi dengan batu, atau "selepetan" diikat dengan bahan yang dapat mencederai secara serius. Inilah yang harus diwaspadai, jika kita menemukan permainan ini dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Maka wajar, jika aparatur penegak hukum selalu mewaspadai permainan ini, jika dilakukan dan meluas dalam skala besar. Terlebih jika melibatkan antar kelompok yang memiliki latar belakang perselisihan. Tentu masyarakat pun mewaspadainya. Dimana hal ini justru kerap memakan korban jiwa.
Apalagi dalam beberapa kasus anarki, kerap berawal dari aksi saling ejek antar dua kelompok yang bertikai. Walaupun dengan alasan perang sarung menjadi faktor utamanya. Namun, fenomena ini hanya didapat ketika bulan Ramadhan tiba. Setelah itu, tidak ada lagi terdengar istilah perang sarung, yang kemudian dapat diidentifikasi sebagai budaya pada waktu tertentu saja.
Pergeseran makna inilah yang secara lambat laun membuat tradisi perang sarung ini memudar dengan sendirinya. Apalagi banyak jenis permainan lain yang menjadi alternatif anak-anak dikala Ramadhan tiba. Terlebih jika pak ustad sudah melarang dan menegur anak-anak, so pasti permainan ini pun urung dilakukan di sekitar area ibadah.
Di beberapa daerah, perang sarung ini juga diidentifikasi sebagai bagian dari budaya lokal yang selalu dilestarikan. Seperti di daerah Sulawesi, dimana Tarung Sarung diidentifikasi sebagai bagian dari upaya penyelesaian masalah. Tradisi yang dikaitkan dengan ritual ini dikatakan kerap memakan korban jiwa dari para pemainnya.
Jika kita melihat unsur sarung, yang dijadikan simbol senjata atau konsep perlawanan. Tentu sangat berkaitan dengan simbol-simbol kaum santri pada masa perjuangan dahulu. Maka, tidak heran jika istilah perang sarung dianggap sebagai simbol dari keberanian. Asal dilakukan dengan pemahaman tradisi yang positif dan edukatif.
Salam damai dalam tebar hikmah Ramadhan, terima kasih.