Halo! Saya Ibu dengan anak remaja, sering menulis tentang parenting for teens. Selain itu, sebagai Google Local Guides, saya juga kerap mengulas aneka destinasi dan kuliner maknyus! Utamanya di Surabaya, Jawa Timur. Yuk, main ke blog pribadi saya di www.bukanbocahbiasa.com
Surat untuk Pacitan: Maaf, Kami Mulai Kepaten Obor
Dear Pacitan,
Dear kampung halamanku tercinta
Aku memulai surat ini dengan satu kata singkat: MAAF.
Maafkan aku yang sudah lamaaaa banget, tak berkunjung ke desa indah, damai, dengan bentang alam yang sedemikian menakjubkan.
Maaf,
Ternyata benar apa yang orang bilang. Bahwa ketika sosok Kakek atau Nenek telah berpulang, maka.. semuanya tak lagi sama.
Mudik hanya kata kerja. Kampung halaman hanya tempat/lokasi belaka.
Yap, sekadar lokasi, yang bisa kita telusuri di Google Map.
Aku tahu, di Pacitan masih ada bulek Anik dan Om Edy. Namun, harus kuakui, sudah tidak ada urgensi untuk bertandang ke sana. Berbeda dengan masa dahulu, manakala masih ada Eyang Umiatun, dan ibu kandungku juga masih bersama kami. Bertandang ke kampung halaman sungguh menjadi pengalaman yang menyenangkan dan penuh kesan.
Sekarang?
Jujur, durasi perjalanan yang begitu lama (sembilan jam lebih!) sudah bikin aku ogah-ogahan. Apalagi, aku ini kan cuma "keponakan". Errr, apa ya? Tentu beda perlakuan Bulek Anik terhadap ibuku kalau dibandingkan bagaimana ia men-treat aku.
Apalagi, entah kenapa... belakangan ini, aku merasa bulekku ini hobi banget ngomel dan komentar segala macam! Duhh, aku merasa sedang disembur hawa neraka manakala dengar aneka omelan beliau :) Segala perilaku aku dan Sidqi selalu dilabeli sebagai 'tidak sesuai ajaran sunnah' dan seterusnya dan sebagainya. Okay, fine... mungkin memang kami belum ber-Islam secara kaffah. Tapii, heyyy, aku datang ke Pacitan niatnya buat silaturahmi, plesir dan healing tipis-tipis. Lah kok ini malah di-judge?
Itulah mengapa aku jadi makin malasssss untuk berkunjung ke Pacitan. Kalau boleh memilih, aku lebih suka menuju destinasi yang benar-benar jadi tujuan leisure and pleasure. Ke Solo, Malang, Jogja, atau sekalian umroh.... atau ke Amerika, misalnya. Dijamin, gak bakal ada manusia yang men-judge keimananku yang masih setipis tisu!
Kalau aku lihat di WA group, sepertinya keluarga besar kita juga nggak ada greget buat kumpul rame-rame di Pacitan. Sudah punya kesibukan masing-masing? Merasa il-feel atau memang nggak menjadikan kumpul keluarga sebagai prioritas?
Entahlah.... apa ini yang namanya kepaten obor?
Dalam pepatah Jawa "kepaten obor" mempunyai makna: terputusnya komunikasi antar anggota keluarga besar. Sehingga satu dengan yang lain tidak saling mengenal.
Hal tersebut terjadi karena anggota keluarga inti semakin berkembang dan bercabang, para anggota keluarga sudah banyak merantau, jarangnya pertemuan keluarga yang melibatkan anak cucu.
Di WA Grup, mayoritas memilih untuk diam, tidak membuka obrolan karena kuatir menyinggung. Yang kalangan sepuh, justru flexing soal pencapaian anak, menantu dan cucu. "Anakku sekarang jadi Kepala Bagian. Karirnya melesat, memang hebat anakku yang satu itu..." begitu chat Budeku soal Rudy, salah satu anak emasnya.
Kali lain, bulekku yang di luar pulau sibuk flexing soal jamaahnya yang setia menanti tausiyahnya. "Wah, aku nggak bisa pergi lama-lama, karena ini kan aku harus isi pengajian. Kasian jamaahku kalau nanti nyari ustadzah-nya..."
Yap, semua punya prioritas masing-masing, punya dunia sendiri, yang sudah tak sama lagi dengan bertahun-tahun silam. Kala kita begitu rela keluar dari zona nyaman, berebut bus buluk untuk bisa mudik ke kampung halaman. Sekarang? Lagi-lagi, urgensi itu tak lagi ada.
Maafkan kami ya, wahai Pacitan, kampung halamanku tercinta..... Maafkan kalau pada akhirnya kamipun terjerat sindroma kepaten obor....