ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX
[Cerpen] Pahlawan Renta
Kali ini Dito menjawab pertanyaaku dengan suaranya.
"Dito malu kek sama teman-teman, mereka semua sudah mempunyai kendaraan sendiri, malah sudah ada yang membawa mobil. Lagipula Dito kan malu sudah besar kok masih di antar-jemput seperti anak TK,"
sahutnya panjang lebar.
Kulihat belum ada tanda-tanda Bagus untuk menjawab permasalahan ini. Aku lantas berinisiatif menanyakan langsung apakah Bagus mau membelikan Dito motor, namun ternyata Bagus belum bersedia membelikannya dalam waktu dekat ini karena pikirnya Dito belum terlalu membutuhkannya untuk saat ini, apalagi Bagus bilang hal itu hanya akan menyebabkan pemborosan saja.
Terlihat gurat kecewa di wajah Dito mendengar hal itu. Namun aku harus memberikan pengertian yang lebih baik kepada Dito.
"Memang benar apa kata papamu itu nak, selain alasan yang diutarakan papamu itu baik, mengunakan motor juga sangat berbahaya. Apalagi di kota besar semacam Jakarta ini. Lagipula apabila Dito membutuhkan kendaraan untuk berpergian, kan Dito bisa menyuruh mang Diman untuk mengantar."
Belum selesai aku bicara dengannya, Dito malah langsung pergi meninggalkan meja makan dengan muka yang cemberut. Kembali aku hanya bisa bersabar.
* * *
Aku memang tidak berdaya di rumah ini. Aku memang seonggok daging lapuk yang tidak diharapkan kehadirannya dirumah ini. Aku memang telah terbiasa mendapatkan prilaku buruk dari cucu-cucuku, namun yang kudapatkan malam ini sungguh membuat hatiku teriris-iris.
Jujur dari hatiku yang paling dalam, sama sekali tak ingin aku mengganggu keluarga harmonis ini. Menjadikan setiap cucuku merasakan ketidaknyamanan akan kehadiranku. Telah lama aku ingin hidup berpisah dari rumah ini, bukan sama sekali karena kau tidak mencintai mereka, lebih dari itu aku sangat menyayangi mereka semua. Karena merekalah hartaku yang paling berharga. Mutiaraku telah lama meninggalkanku, hampir 10 tahun yang lalu. Aku masih menyisakan kenangan-kenanga manisku itu di rumah kami yang dulu, yakni di kampung di Pulau Sumatera.
Telah lama pula aku ingin kembali kerumah itu, mengingat kenangan-kenangan kejayaanku dulu, serta menghabiskan waktu tuaku bersama bayang-bayang istriku yang kucinta, namun keinginanku itu ditentang oleh Bagus dan Suci istrinya. Karena mereka khawatir tidak ada yang akan mengurusku disana.
Tetapi tekatku telah bulat. Akhir pekan ini aku akan pulang ke Sumatera. Aku ingin melihat semua cucuku bahagia tanpa kehadianku, karena aku tahu hal ini lah yang selama ini mereka tunggu. Memang pada awalnya Suci dan Bagus menentang keinginanku, namun kali ini aku harus bersihkeras dengan mengatakan akan kembali lagi ke Jakarta secepatnya. Akhirnya mereka berdua menyerah dan mengizinkanku pulang ke kampungku.