Nara Ahirullah
Nara Ahirullah @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Tanya Pakar

Pakar Menjawab

Mas , sampah pecahan kaca dan beling sangat membahayakan. Saya bingung ketika sejumlah orang malah menguburkannya. Harusnya bagaimana ya cara membuang beling yang benar? Terimakasih


Mohon maaf Pak/Bu Masrierie baru bisa menjawab karena kondisi kurang sehat.

Pecahan kaca termasuk sampah spesifik dan kategori sampah B3 (Bahan Beracun Berbahaya). Memang perlu penanganan khusus agar tidak membahayakan orang lain. Saya berharap Pak/Bu Masrierie mau repot untuk menyelamatkan lingkungan dan sesama.

Jika ada pecahan kaca sebaiknya bungkus dengan kain tidak terpakai. Kemudian ambil palu dan pecahkan menjadi halus dan tidak membahayakan.

Selanjutnya ada dua alternatif: 

Jika punya pekarangan, gali tanah secukupnya kemudian kubur pecahan kaca yang dibungkus kain itu. Jika tidak punya pekarangan, bungkus pecahan kaca dalam kain tadi dengan plastik kemudian diisolasi rapi. Setelah dirasa aman, Anda bisa menitipkannya ke pengangkut sampah di wadah tersendiri dan informasikan bahwa di dalam wadah itu adalah pecahan kaca yang sudah dihaluskan.

Semoga bermanfaat.

Saya berharap Mas Nara dkk bisa menggerakkan para pemimpin nasional yg ada kaitannya dgn persampahan utk menggerakkan para pemimpin daerah utk mengelola sampah dgn benar shg tidak ada lagi bakar sampah dan buang sampah sembarangan


Aamiin..

Insya Allah kami sudah sekuat tenaga, pikiran, dan waktu mengusahakan pemimpin nasional dan daerah untuk mengelola sampah sesuai regulasi dan kaidah lingkungan. Tapi memang mengubah apa yang selama ini sudah menjadi kebiasaan bukanlah hal yang mudah. Di daerah-daerah kami mendorong adanya piloting project pengelolaan sampah yang sesuai regulasi dan kaidah lingkungan. Kami terus berupaya memperbaiki sistemnya agar bisa berkelanjutan.

Sementara di pemerintah pusat, kami bersama Tim Perumus dari Institut Teknologi Yogyakarta (ITY) sudah berupaya membuat rancangan regulasi tentang Extended Producer Reponsibility (EPR) atau Tanggung Jawab Produsen terhadap Sisa Produk/ Sampahnya. Tujuannya agar pemerintah tidak selalu mengeluh kekurangan dana untuk mengelola sampah. Dengan regulasi EPR itu pemerintah bisa menjadi regulator untuk mengelola dana lingkungan yang dapt dikumpulkan produsen melalui penjualan produknya. 

Rancangan regulasi itu sudah kami sampaikan pada Dirjen PSLB3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementrian Maritim dan Investasi, Kementerian PUPR, Sekretariat Negara (Presiden RI), Komisi IV DPR RI, dan Badan Legislasi DPR RI.

Hingga kini belum ada respon positif, namun kami yakin hasil kerja kami tidak akan sia-sia.

Menurut pengalaman Bapak, apa saja hal-hal urgen yang perlu "dipakai" untuk memantik setiap orang di sekitar kita agar peduli kebersihan lingkungan dari sampah? Tentu, pendekatan edukasinya, berbeda-beda. Mohon inspirasinya, Pak.


Ada 5 aspek pengelolaan sampah yang harus simultan dijalankan. Kalau tidak salah satu aspek saja tidak ada atau tidak dijalankan, maka program pengelolaan sampah sebaik apapun pasti macet.

https://www.kompasiana.com/nara_akhirullah45/624bbf5432c4c668507ae965/lima-aspek-yang-harus-simultan-dalam-pengelolaan-sampah

Produktifitas dan aktivitas ekonomi terkait sampah atau limbah non organik harusnya memperhitungkan amdal. Sumberdaya kebijakan pemerintah adalah sumberdaya kebutuhan sosio masyarakatnya?! Negara hanya preseden type modernitas.


Mas Ahmad W. Al faiz, maaf kan kebodohan saya, sebab saya tidak mengerti pertanyaan Anda kalau Anda memang bertanya. Bisa diulang dan diperjelas pertanyaannya ya..

bagaimana seharusnya upaya pemerintah untuk menyadarkan masyarakat bawasannya merekalah yg bertangung jawab atas semua sampah yg ada di sekitarnya? dan mengapa petugas sampah hanya ada di kota saja? jika desa juga membutuhkannya?


Mohon maaf, saya koreksi sedikit. Masalah sampah bukanlah tanggung jawab masyarakat, melainkan tanggung jawab pemerintah. Sebab, sampah merupakan masalah umum yang penyelesaiannya memerlukan kebijakan penyelenggara negara alias pemerintah.

Memang sering terjadi salah paham bahwa masalah sampah adalah tanggung jawab masyarakat. Karena masyarakat adalah pengguna terakhir suatu produk berkemasan atau produk itu sendiri. Kemudian dari masyarakat itulah timbul sampah.

 

Jika kita tidak cermat, maka kita akan memiliki pemahaman seperti di atas. Padahal, pemahaman itu salah. Produsen sampah yang sebenarnya adalah perusahaan-perusahaan kemasan dan produk berkemasan. Jika tidak ada perusahaan-perusahaan itu, bisa dipastikan tidak akan ada sampah karena masyarakat juga tidak akan menimbulkan sampah jika perusahaan itu tidak memproduksi kemasan atau produk berkemasan.

Perusahaan-perusahaan kemasan dan produk berkemasan kemudian mencari cara untuk bagaimana melepaskan diri dari tanggung jawab mengelola sampah. Kebetulan juga masyarakat kita mudah dibentuk pola pikirnya dan pemerintah tidak tegas terkait regulasi persampahan, maka masalah dibelokkan pada end user (pengguna akhir) atau konsumen, yaitu masyarakat.

Maka jargon seperti "sampahmu tanggung jawabmu", "sampah tanggung jawab kita bersama", "jangan kotori lingkunganmu dengan sampah" dan banyak lagi jargon lainnya itu hanyalah akal-akalan produsen sampah yang sebenarnya agar masalah sampah dipahami sebagai masalah yang ditimbulkan oleh masyarakat. Bukan oleh pabrik-pabrik produsen plastik, styrofoam, botol plastik, sponbound dan segala produk yang akhirnya jadi sampah itu.

 

Jadi yang seharusnya dididik bukan masyarakat melainkan pemerintah agar mau memenuhi kebutuhan suprastruktur dan infrastruktur pengelolaan sampah secara menyeluruh, sistematis, dan berkelanjutan. Kalau itu sudah terpenuhi, masyarakat tinggal menjalankan kewajibannya untuk mengelola sampah sebagaimana diatur regulasi.

Soal petugas sampah hanya ada di kota, itu karena di desa dianggap masih minim sampah. Dan masyarakat desa dianggap masih punya kesempatan yang luas untuk mengurus sampahnya sendiri.

Sebenarnya banyak peluang dari mendaur ulang sampah. Namun kendalanya adalah SDM yang belum mumpuni dan dari pihak atas ( aparat yang kurang bersinergi dalam memantau persampahan. Sehingga banyak terjadi penumpukan sampah di lokas


Semua sampah yang diketahui jenisnya dan bahan pembuatannya pasti bisa didaur ulang. Ini bukan soal kemampuan SDM dari bawah hingga atas. Masalahnya adalah kemauan. 

 

Berdasarkan pengalaman di lapangan, kita semua harus berhenti menyatakan bahwa pemerintah tidak mampu mengelola sampah secara benar. Sebab, itu adalah pernyataan yang salah. Kita harus berhenti meremehkan pemerintah dan pihak-pihak yang kita anggap tidak mampu mengelola sampah.

 

Saya juga dulu berpikir bahwa pemerintah dan pihak lain (swasta) produsen sampah tidak mampu dalam mengelola sampah. Baik secara pengetahuan dan praktek. Tapi ternyata masalahnya bukan ketidakmampuan melainkan kemauan.

Mas Nara, saya mau sharing sedikit, disini sampahnya sering membludak di tepi-tepi jalanan. Pengangkut sampah kerap telat datangnya. Pemulung obok-obok sampah dan akhirnya berserakan. Kerap banjir karena sampah itu. Terima kasih


Di tempat Mas Akbar bukan satu-satunya yang seperti itu. Hampir di semua daerah di Indonesia terjadi hal yang sama. Itu disebabkan karena ketergantungan yang sangat tinggi terhadap TPA. Ketergantungan terhadap TPA berarti sangat tergantung pula pada pengangkutan. 

Kalau tidak diangkut sehari saja sudah membludak. Olah karena itu saya dan teman-teman di YAKSINDO dan SSN berupaya untuk melakukan upaya pendampingan kawasan agar masyarakat bisa mengelola sampahnya dan bisa menahan sampah di rumah sampai 30 hari lamanya.

Memang tidak mudah untuk membangun sistem agar masyarakat bisa mengelola sampah dan menahan sampahnya selama 30 hari. Itupun setelah proses 30 hari sudah bukan sampah lagi yang keluar dari sumber sampah atau rumah warga atau satuan kawasan lainnya. Melainkan bahan baku daur ulang teknis (anorganik) dan biologis (organik). Jadi tidak ada sampah KE TPA kecuali sedikit saja yang berupa residu.

Sampah residupun kalau ada teknologinya bisa diolah juga. Sehingga benar-benar 0% sampah ke TPA.

Bolehkah dibantu, selain sampah kotoran, sampah digital, suara berisik yg ganggu aktivitas orang lain itu apa termasuk sampah ya? Apa gak ada aturannya untuk penggunaan ruang langit terkait dgn suara ini? Makasih


Itu bisa laporan Pak RT atau RW atau Lurah Mas. Mungkin termasuk pasal perbuatan tidak menyenangkan atau mengganggu khalayak banyak.

Halo mas Nara, gimana ya mas cara menghilangkan stigma tentang sampah di masyarakat. saya mendengar dengan telinga saya sendiri, ada rekan yang melontarkan pernyataan yang intinya dia tidak mau pegang-pegang sampah. Terima kasih


Stigma terbentuk karena kondisi yang ada saat ini. Saya juga dulu tidak mau pegang-pegang sampah, tapi dengan edukasi yang terus menerus maka akan timbul kesadaran. Kesadaran memang tidak bisa timbul pada setiap orang, maka penegakan regulasi yang kemudian harus dipertegas.

Stigma tentang sampah akan berubah seiring dengan paradigma, konsep, dan cara kerja pengelolaan sampah sudah semakin maju. Sistemlah yang akan membuat orang mau tidak mau harus mengelola sampahnya. Jika dia tidak mengelola sampahnya, tidak akan ada orang lain yang mengelolanya.

Saat ini muncul perilaku orang tidak mau pegang-pegang sampah itu karena selama semua orang dimanjakan oleh pemerintah. Masyarakat dibuat teralienasi (terpisah atau asing) dengan sampah yang ditimbulkannya. Sebab, mereka merasa sudah membayar sejumlah uang untuk atau agar orang lain yang mengurus sampahnya. Itulah yang terjadi.

Jika sistem iuran/retribusi sampah dihapus dan orang wajib mengelola sampahnya sendiri karena sudah dilengkapi segala kebutuhan pemilahan sampahnya, mereka tidak akan bisa berkutik lagi. Konsekwensinya, dia mengelola sampah dan akan mendapatkan insentif atas kegiatan pengelolaan sampahnya, atau mendapatkan sanksi yang besar karena dia tidak mau mengelola sampahnya.

Dengan begitu, orang akan suka mengelola sampah karena mendapatkan reward atas kegiatannya. Sementara yang tidak mengelola sampahnya akan mendapat punishment dan ditambah lagi dia akan terkubur sampahnya sendiri karena tidak akan ada yang mengurus, mengambil, atau mengangkut sampahnya.

Kami telah bertahun-tahun berupaya memasukkan sistem yang menyeluruh dan berkelanjutan pada pemerintah. Sejauh ini, di depan kami saat kami presentasi: mereka iya-iya saja. Tapi kenyataannya mereka tak lakukan sistem komperhensif itu di lapangan dan terus menerus bergantung pada TPA.

Semoga bermanfaat dan menjawab pertanyaannya.

Tanya Om Nara, sampah di sungai itu kan banyak jenisnya ya, mis. kain, plastik, kayu, dll. Ada teknik khususkah di SSN terkait teknologi pemilahannya?


Hingga saat ini belum ada teknik khusus atau teknologi yang mampu memisahkan sampah yang sudah jatuh ke lingkungan atau tercampur Pak. Kalau pun ada mesin, paling hanya mampu memilah sampah 5-10% saja. Sisanya tetap dibuang ke TPA.

Yang harus ada hanya komposter dan trasbag di setiap sumber sampah untuk mencetak sampah dicampur dan jatuh ke lingkungan (di antaranya masuk ke sungai).

Artikel Pakar

Terima kasih!

Pertanyaan Anda sudah terkirim.

Apakah Anda yakin ingin menghapus pertanyaan ini?

Apakah Anda yakin ingin menghapus jawban ini?

Link Artikel Edit

lorem ipsum dolor sit amet adipiscing elite lorem ipsum amet consectetur lorem ipsum dolor sit amet adipiscing elite lorem ipsum amet consecteturlorem ipsum dolor sit amet adipiscing elite lorem ipsum amet consectetur

Link Artikel