Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/
Toxic Marriage (6), Bertahan dalam Pernikahan Beracun Bukan Sikap Sabar
"Marriage is a mutual contract between two people with their consent, to live together and help and support each other to their journey to Allah Almighty and look after their family, give them the right tarbiyya to be among people of Jannah" --Syaikh Haytham Tamim, 2019.
Syaikh Haytham Tamim, seorang ulama, pengajar dan konsultan pernikahan Islam di Inggris menyatakan, bertahan dalam kehidupan pernikahan yang beracun bukanlah bentuk sabar, namun bentuk kelemahan. Bahkan beliau menjelaskan "the distinction between sabr and suicide", perbedaan antara sabar dan bunuh diri.
"Staying in a harmful relation is not classified as patience, it is 'suicide'" --Syaikh Haytham Tamim, 2019.
Menurut beliau, tetap bertahan dalam hubungan pernikahan yang membahayakan tidak diklasifikasikan sebagai kesabaran, itu adalah bentuk 'bunuh diri'. Toxic marriage memiliki banyak wujud dan manifestasinya. Salah satu bentuk pernikahan beracun adalah apabila dalam pernikahan itu ada pihak yang disakiti, dilukai dan dizalimi. Terlebih perilaku menyakiti, melukai dan menzalimi itu berada dalam rentang waktu yang panjang.
"If a wife remains in such a situation, she is punishable if her patience is creating more problems. This is not sabr, this is weakness. There is a thin line, which we tend not to see, between sabr and weakness" --Syaikh Haytham Tamim, 2019.
Menurut Syaikh, jika seorang istri tetap dalam situasi seperti itu, dia justru dihukumi bersalah apabila 'kesabarannya' untuk bertahan tersebut menciptakan lebih banyak masalah. Ini bukan sabar, ini adalah kelemahan. "Ada garis tipis yang cenderung tidak kita lihat, antara sabar dan kelemahan", ungkap Syaikh Haytham.
"The greater benefit lies is outside such a marriage, where she would gain safety, sanity and tranquillity, which is a healthier environment" --Syaikh Haytham Tamim, 2019.
Bertahan dalam pernikahan beracun lebih banyak menimbulkan kemudharatan. "Manfaat atau kemaslahatan yang lebih besar justru berada di luar pernikahan beracun seperti itu, di mana dia akan mendapatkan keamanan, kewarasan dan ketenangan, yang merupakan lingkungan yang lebih sehat", ungkap Syaikh Haytham.
Mengambil pelajaran dari Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat ke 97, Syaikh Haytham mengingatkan, ketika para malaikat mengambil nyawa dari orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri. Malaikat akan bertanya, 'Bagaimana dulu kamu hidup di dunia?' Orang-orang itu menjawab, 'Kami hidup di bumi dalam kelemahan dan penindasan.' Para malaikat berkata, 'Bukankah bumi Tuhan sangat luas bagi kamu untuk pergi ke mana pun sehingga kamu bisa hidup dengan damai?"
Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental
"Mental health is important not just to function properly, but also be able to perform any form of ibadah competently and to be a good mother. Women have to look after themselves" --Syaikh Haytham Tamim, 2019.
Hasil studi para ahli menemukan bahwa stres yang muncul dalam kehidupan rumah tangga ternyata memberikan pengaruh yang lebih buruk untuk kesehatan dibandingkan dengan stres di lingkungan pekerjaan. Demikian diungkapkan Tara Parker-Pope, dalam buku "For Better: The Science of a Good Marriage".
"Karena stres dalam rumah tangga dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan seringkali sulit untuk dielak atau dihindari, dan banyak pasangan selalu terpapar dengan masalah ini setiap hari, setiap bulan dan bahkan setiap dekade," lanjut Parker-Pope.
"People get very surprised when they hear that marital stress is actually worse for your health than workplace stress" --Tara Parker-Pope.
Syaikh Haytham memberikan perhatian yang besar dalam pembahasan soal kesehatan mental. Menurut beliau, kesehatan mental penting tidak hanya untuk menjalankan fungsinya dengan baik, tetapi juga untuk dapat melakukan segala bentuk ibadah dengan kompeten dan menjadi ibu yang baik. "Perempuan harus menjaga dirinya sendiri", ungkap Syaikh Haytham.
Selanjutnya, Syaikh Haytham menukilkan hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda,
.
"Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: 'Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.' Akan tetapi hendaklah kau katakan: 'Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.' Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu setan" (HR. Muslim).
Hadits di atas mengarahkan umat muslim laki-laki maupun perempuan untuk memiliki sikap dan mentalitas yang kuat. Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dibandingkan mukmin yang lemah. Nabi saw juga mengarahkan umat muslim untuk bersemangat dalam hal-hal yang memberikan manfaat.
"Many women will put up with anything against themselves and cannot see the the mental harm to their children until it's very late. They hope that their husbands will change, and at the same time they fear the consequences of leaving. However, every day they do not leave is detrimental to their mental health and ultimately manifests itself physically" --Syaikh Haytham Tamim, 2019.
Menurut beliau, banyak perempuan bisa tahan dengan apa pun terhadap diri mereka sendiri namun tidak akan dapat melihat bahaya mental terpapar pada anak-anak mereka, terlebih apabila sampai sangat terlambat. "Mereka berharap suami mereka akan berubah, dan pada saat yang sama mereka takut akan konsekuensi dari kepergiannya meninggalkan suami", lanjut Syaikh Haytham.
Upaya untuk bertahan demi keutuhan keluarga, tentu niat dan tindakan yang sangat mulia. Namun apabila bertahan justru menimbulkan persoalan serius bagi kesehatan mental, maka inilah yang disebut Syaikh Haytham sebagai 'bunuh diri'. Dampak negatif pernikahan beracun bukan hanya mengenai suami atau istri, namun akan mengenai anak-anak mereka yang tidak berdosa.
"The impact on the children as they grow up is also negative and affects their hormonal mechanisms with issues such as depleted adrenals and heightened chronic cortisol levels. This impacts them in different ways, from gut issues, headaches, detachment, fatigue, depression. This is why it is important to get priorities in the right order, and realise that self-sacrifice is the wrong" --Syaikh Haytham Tamim, 2019.
Syaikh Haytham menyatakan, kondisi pernikahan yang buruk berdampak pada anak-anak saat mereka tumbuh dewasa. Di antaranya bisa memengaruhi mekanisme hormonal, seperti adrenal yang terkuras dan kadar kortisol kronis yang meningkat. Manivestasinya pada tiap anak akan berbeda, mulai dari problem pada pencernaan, sakit kepala, kelelahan, serta depresi.
"Inilah sebabnya mengapa penting untuk menempatkan prioritas dalam urutan yang benar, dan menyadari bahwa pengorbanan diri dalam pernikahan beracun adalah salah", ungkap Syaikh Haytham.
Menikmati Kehidupan Pernikahan yang Sehat
"Marriage is a mutual contract between two people with their consent, to live together and help and support each other to their journey to Allah Almighty and look after their family, give them the right tarbiyya to be among people of Jannah" --Syaikh Haytham Tamim, 2019.
Semestinya, pernikahan adalah akad sakral yang memberikan ketenangan, kedamaian, cinta dan kasih sayang pada suami dan istri. Pernikahan bukanlah hukuman seumur hidup, bukan pula penjara yang menyiksa fisik maupun mental. Pernikahan adalah akad untuk memberikan kebaikan dunia hingga di surga.
Syaikh Haytham Tamim menyatakan, "Perkawinan adalah akad timbal balik antara dua orang dengan persetujuan, untuk hidup bersama dan saling membantu serta mendukung untuk mengarungi perjalanan menuju Allah dan menjaga keluarga, memberi anggota keluarga tarbiyah (pendidikan) yang benar agar berada di antara para penghuni surga".
Jika pernikahan tidak bisa dinikmati, saatnya melakukan evaluasi. Jika pernikahan berdampak menyakiti, melukai dan menzalimi, tak layak untuk dipertahankan sampai mati. Karena itu adalah bunuh diri.
Kaidah dalam syariat Islam sangat jelas. La dharara wala dhirara, tak boleh memberikan kemudharatan, baik disengaja maupun tidak disengaja. Nabi saw bersabda,
"Tidak boleh memberikan mudarat tanpa disengaja atau pun disengaja" (HR. Ibnu Majah, no. 2340; Daraquthni no. 4540. Disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 250).
Bahan Bacaan
Elizabeth Cohen, Is Your Marriage Making You Sick? 10 Juni 2010
Syaikh Haytham Tamim, Marriage is Not a Life Sentence, https://www.utrujj.org, 27 Juni 2019