Gula Kacang, Kue Kering Lebaran yang Jarang Disajikan
Kalau bicara kue kering lebaran, orang selalu ingat pada nastar, putri salju, kastangel, lidah kucing, hingga sagu keju atau kue semprit. Padahal yang namanya kue kering banyak macamnya, benar kan?
Salah satunya gula kacang. Sesuai namanya, kue ini dibuat dari dua bahan saja, gula aren/gula merah dan kacang tanah.
Kue gula kacang seringkali disebut dengan kue ampyang. Beberapa daerah di Jawa Tengah mengklaim kue ampyang ini sebagai kue khas daerah mereka, diantaranya Klaten, Temanggung dan Solo.
Kata "ampyang" sendiri, oleh masyarakat Solo, digunakan untuk menggambarkan buruknya kondisi sebuah jalan. Kalau ada jalan yang berlubang dan tidak rata maka jalannya disebut "jalan ampyang". Bentuk kue ampyang yang tidak rata dan bergelombang mungkin dijadikan alasan mengapa akhirnya kue ini dinamakan demikian.
Tapi, aku justru mengenal gula kacang sebagai kue kering khas Malang. Di warung-warung kopi, gula kacang disajikan untuk menemani secangkir kopi yang dinikmati pembeli. Harganya murah, 500 rupiah per satu kuenya.
Gula Kacang Mengandung Nilai Filosofi dan Manfaat Kesehatan
Konon, menurut masyarakat kue gula kacang mengandung nilai filosofi yang tinggi. Dari bahan dasarnya, kue ampyang memiliki 2 rasa yang dominan. Yakni rasa manis dari gula aren dan rasa gurih dari kacang tanah yang digoreng.
Manis adalah lambang keceriaan dan kebahagiaan, sedangkan gurih adalah lambang kepuasan. Kalau dipadukan, saat kita memakan gula kacang akan merasa bahagia, ceria dan puas. Benar atau tidaknya, silahkan dicicipi sendiri.
Selain itu, kue gula kacang ini juga mengandung manfaat kesehatan. Kacang tanah sudah lama diketahui banyak mengandung zat antioksidan. Sedangkan gula aren atau gula merah sendiri berfungsi sebagai penambah energi, sama seperti saat kita memakan cokelat.
Tidak seperti nastar atau kue kering kekinian lainnya, gula kacang saat ini jarang disajikan saat lebaran tiba. Padahal, dulu waktu aku kecil sering menikmati gula kacang di rumah-rumah tetangga yang kukunjungi. Mungkin kalah pamor, atau jarang ada orang yang membuatnya lagi.