Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as
Dari Buya Arrazy ke Gus Baha, Mendengarkan Kajian Lewat Youtube
Beberapa bulan sebelum Ramadan, algoritma Youtube membuatku bertemu dengan Buya Arrazy. Sebelumnya beliau muncul sebentar di podcast Deddy Corbuzier saat menjelaskan secara singkat tentang hukum mengucapkan selamat natal. Saat itu beliau memberi tahu bahwa ada pendapat yang mengatakan boleh mengucapkan selamat natal dan ada pendapat yang tidak boleh. Silakan saja diikuti pendapat yang diyakini.
Buya Arrazy menarik perhatian karena beliau asli Minangkabau tetapi menempuh tarikat. Beliau juga menempuh pendidikan haditsnya di Darus Sunnah di bawah bimbingan Ali Mustafa Yaqub.
Satu ceramahnya yang saya ingat adalah bagaimana sebagai orang tua, kitalah yang harus mengajarkan Alfatihah kepada anak. Jangan dari orang lain. Sebab Alfatihah itu pasti dibaca setiap hari dan akan menjadi amal jariyah bagi orang tuanya.
Di luar itu, beliau banyak membahas laku tasawuf. Pada mulanya, saya menyukai penjelasan-penjelasan beliau. Sebab hal itu mengingatkan saya pada kenangan masa SMA ketika suka membaca buku tasawuf. Beliau bisa menjelaskan dengan sederhana kenapa amalan wirid dibatasi dengan jumlah angka tertentu yang tak bukan adalah sebagai bentuk latihan murid.
Namun belakangan, tak sedikit hal yang beliau paparkan tak bisa saya sepakati. Contohnya ada bagian penjelasan Al Hallaj dan Syakh Siti Jenar.
Sebagaimana kita tahu Al Hallaj dengan konsep wahdatul wujudnya dipancung di zamannya. Dianggap sesat. Lalu beliau menukil pendapat Imam Ghazali jika Al Hallaj hadir di zamannya, seharusnya tak perlu dipancung. Beliau lantas menganalogikan apa yang dialami Al Hallaj itu sebagai mabuk cinta. Bagaimana orang yang tidak pernah merasa mabuk cinta bisa memahami beliau, katanya. Hal yang sama juga terjadi di zaman Syek Siti Jenar yang kemudian mendapatkan penghakiman dari Wali Songo.
Saat saya membaca kisah Al Hallaj semasa SMA itu, saya berpikir, hukum itu sudah benar. Pendapat saya adalah bagaimana mungkin orang yang mabuk cinta kemudian mengajarkan pengalaman mabuknya kepada orang-orang yang tak pernah merasakan mabuk cinta? Tentu ini sangat berbahaya sekali. Sebab kepala manusia berbeda. Apalagi hatinya. Suatu pengalaman dapat diartikan bermacam-macam oleh orang yang tak pernah mengalaminya.
Dan di saat yang sama, algoritma Youtube mempertemukan saya dengan Gus Baha.
Saat memutuskan untuk mendengarkan lebih banyak seseorang berceramah, hal pertama yang saya cari adalah latar belakang keilmuannya. Sebab fenomena di Indonesia banyak sekali yang mengaku ustad, bikin pesantren bahkan, tapi latar belakang kelimuannya tidak jelas. Sanada keilmuannya entah bagaimana. Padahal, ini yang harus diteliti lebih dahulu, biar kita tahu bahwa seseorang itu memang punya keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini juga yang nggak bikin saya baper kalau mendengarkan Khalid Basalamah misalnya, sebab beliau memiliki latar belakangan keilmuan yang jelas.
Nah Gus Baha ini adalah ulama NU, ahli tafsir dan merupakan Kiai Maimun Zubair. Nasabnya bersambung kepada para ulama besar. Dari silsilah keluarga ayah, Gus Baha' merupakan generasi ke-4 ulama-ulama ahli Al-Qur'an. Sedangkan dari silsilah keluarga ibu, Gus Baha menjadi bagian dari keluarga besar ulama Lasem, dari Bani Mbah Abdurrahman Basyeiban atau Mbah Sambu.