riap windhu
riap windhu Sales

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Belanja Makanan Itu Satu Cukup, Beli Dua Pun Habis

2 Mei 2020   21:44 Diperbarui: 2 Mei 2020   21:59 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belanja Makanan Itu Satu Cukup, Beli Dua Pun Habis
Saat berpuasa, terkadang ingin membeli ini dan itu, tetapi belum tentu semuanya bisa dihabiskan begitu berbuka. Hanya kalap membeli makanan (dok.windhu)

Mata saya menangkap tulisan promo tertera di rak aneka makanan. Tanpa berpikir lama, kaki bergegas melangkah. Tangan pun segera menjangkau barang yang promo. Segera memasukkannya ke dalam keranjang belanja. Lumayan. Beli dua dapat satu. Harganya lebih murah daripada kalau beli satuan.

Sekarang pindah ke rak lain. Ada beberapa kebutuhan bahan pokok untuk rumah yang belum dibeli. Membeli mie instant, susu, teh, dan roti.  Sekalian juga gula pasir. Sudah sejak Maret gula harganya melambung. Harga Rp.15.000 sudah tergolong murah di warungan. Kalau bukan di supermarket atau di minimarket, tidak mungkin bisa membeli dengan harga eceran harga yang ditetapkan Rp. 12.500.

Wah, masih ada beberapa kemasan gula 1 kilogram di rak. Segera saya ambil satu buah. Sempat menimbang perlu atau tidaknya mengambil lagi tapi kemudian tidak jadi. Cukuplah untuk membuat teh manis. Saya mau berputar dulu. Siapa tahu masih ada yang diskon-diskon lainnya.

Namun baru beberapa langkah berjarak, ada yang bertanya gula pasir pada pegawai supermarket. "Habis bu, nanti saja kalau ada lagi beli." Saya yang ikut mendengarnya tiba-tiba jadi terpikir. Kenapa tadi cuma ambil satu? Kenapa nggak dua? Habis kan? Ih kenapa sih bisa ada pikiran aneh seperti ini, padahal ada yang nggak kebagian?  

Belanja di supermarket sangat menyenangkan karena ada makanan jadi dan bahan pokok sehingga bisa dibeli sekaligus (dok.windhu)
Belanja di supermarket sangat menyenangkan karena ada makanan jadi dan bahan pokok sehingga bisa dibeli sekaligus (dok.windhu)
Belanja bahan makanan dan makanan jadi di supermarket buat saya termasuk aktivitas rutin yang  menyenangkan. Biasanya saya akan berputar dari rak ke rak. Berkeliling sambil cek harga. Begitu saya mengistilahkan. Mengira jumlah belanjaan dan berhitung dengan tawaran diskon terhadap suatu makanan.

Kalau dianggap lebih murah, pasti langsung beli. Senang kalau ada diskon dari yang cuma 10 % hingga 50 %. Ujung-ujungnya, belanjaan lebih banyak yang melenceng dari rencana semula dari rumah. Mau beli satu malah jadi dua.  

Apalagi, supermarket sekarang komplit. Ada makanan yang mentah dan ada makanan yang matang. Bisa sekalian belanja. Sehingga, belanja terkadang melebihi kebutuhan. Kue aneka rupa yang sebenarnya tidak perlu-perlu amat untuk dibeli. Alhasil pas sadar, sebenarnya apa sih yang mau dibeli? Itu kalau belanja kebutuhan konsumsi di supermarket.

Saat berbuka puasa, seringkali menu yang tersedia beraneka. Padahal, hanya sedikit yang disantap (dok.windhu)
Saat berbuka puasa, seringkali menu yang tersedia beraneka. Padahal, hanya sedikit yang disantap (dok.windhu)
Untuk membeli makanan berbuka puasa pun seringkali maunya bermacam-macam. Si A di rumah pesan kolak. Si B pesan lontong isi sayur. Satunya lagi pesan goreng pisang. Belum lagi ada yang mau minuman teh panas dan ada yang maunya minum sirup dingin. Ingin mencoba ini dan ingin makan itu.

Padahal sih, kalau semua sudah tersaji di depan meja menjelang berbuka puasa, nggak akan semuanya habis. Baru minum teh manis dan lontong saja, belum termasuk nasi lauk sudah kenyang. Ups, lontong dan nasi sama-sama karbohidrat, ya?

Intinya, kalau tidak dikendalikan membeli maka takjil bisa bersisa bahkan sampai jam sahur tiba. Saat puasa, perut cepat merasa kenyang. Menghabiskan banyak makanan sekaligus justru tak sanggup. Keinginan saat masih berpuasa, beda banget dengan kemampuan menghabiskannya saat berbuka puasa.  

Kalap Belanja Makanan

Kalap belanja makanan itu, menurut saya, biasanya dipengaruhi situasi yang mendorong, ketersediaan barang konsumsi, tidak mampu mengendalikan diri  dan juga ada uangnya juga untuk membeli. Maksudnya begini, situasi ketersediaan pangan dan kekhawatiran kehabisan yang membuat keinginan belanja begitu menggebu.

Ini makanya, saat di masa pandemi covid-19  seperti sekarang  yang kemudian diikuti pemberlakuan karantina wilayah bisa memicu  orang kalap belanja. Takut nggak punya persediaan konsumsi. Khawatir saat ada makanan yang dibutuhkan dan diinginkan tapi nggak ada di rumah, sementara beli belum tentu masih ada.   

Pilah pilih makanan yang pas dan sesuai dengan selera . dok.windhu)
Pilah pilih makanan yang pas dan sesuai dengan selera . dok.windhu)
Aksi ngeborong banyak nggak terhindarkan. Semua itu terjadi di banyak negara. Baik di Asia, Australia dan Eropa.  Tayangan televisi memperlihatkan rak-rak makanan yang kosong. Termasuk di Indonesia pada awal-awal pengumuman covid-19  terdeteksi positif, orang-orang berbelanja dalam jumlah banyak dan rela mengantri.

Pakar perilaku manusia Dr.Ali Fenwick  dalam Kompas.com, mengatakan, ada empat alasan saat wabah seperti saat ini sehingga orang merasa perlu memborong dan menimbun barang di rumah, yakni modus bertahan hidup, efek kelangkaan, perilaku kawanan yang bisa memicu, dan rasa kendali.
terhadap sesuatu. 

 Untunglah di Indonesia di masa pandemi covid-19 ini tidak terjadi aksi kalap belanja barang konsumsi. Bahan makanan tersedia. Kondisi ini cukup menguntungkan  buat saya, yang saat ini nggak ingin dan nggak mungkin banget membeli dalam jumlah banyak. Kecuali hanya memanfaatkan promo dan diskon dalam jumlah terbatas. Permintaan yang melonjak dan barang yang sedikit bisa mengakibatkan harga mahal. Ingat masker dan hand sanitizer yang harganya melambung?

Begini kondisi rak bahan salah satu bahan pokok yang cepat dan seringkali habis karena harganya lebih murah dari eceran pasar (dok.windhu)
Begini kondisi rak bahan salah satu bahan pokok yang cepat dan seringkali habis karena harganya lebih murah dari eceran pasar (dok.windhu)
Memang sih, aneka promo dan diskon dengan bilangan persen itu sangat  menggoda kalau tidak mampu mengekang diri. Ditambah lagi kondisi pandemi covid-19. Namun, sekarang kan bulan puasa sebagai momen yang tepat untuk mengekang diri. Memberikan empati kepada yang sedang dalam keadaan tidak berpunya.

Bulan puasa saat ini yang hadir di saat semua restoran tutup dan tidak bisa dijadikan tempat berkumpul untuk ajang berbuka puasa bersama, sebenarnya momen yang bagus untuk menahan diri untuk kalap belanja dan kalap makan. Makan secukupnya dan berbagi kepada orang lain biar tidak mubazir.

Pagi ini, saya mencatat  makanan dan bahan pokok yang akan dibeli untuk mengurangi belanja yang tidak perlu. Pastinya juga dengan memperhitungkan pengeluaran dan pemasukan yang berkurang. Untuk makanan, lebih baik membuat sendiri. Bukan membeli jadi.

Saya teringat pesan ibu. Benar juga kata orang tua. Beli satu itu cukup, beli dua ya habis. Jadi kukuh pada kebutuhan saja. Nggak perlu berlebih. Ketersediaan bahan makanan dan makanan jadi ada di pasaran. Kalap belanja makanan tidak perlu.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun