Pangrango
Pangrango Penulis

Happy Gardening || Happy Reading || Happy Writing || Happy Knitting^^

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Razan

6 Juni 2018   23:08 Diperbarui: 6 Juni 2018   23:19 1000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usianya 21 tahun. Wajahnya teduh. Bermata tajam dan bening. Ia akan memulai tugasnya sebagai volunteer paramedis di Palestinian Medical Relief Society. Walau desing peluru seolah tiada berhenti di perbatasan Gaza Selatan, ia tak goyah. Ia ingin membuktikan kepada dunia, bahwa seorang perempuan tanpa senjata bisa melakukan sesuatu untuk negerinya.

"Kami memiliki satu tujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mengevakuasi orang. Dan mengirim pesan ke dunia, tanpa senjata kita bisa melakukan apa saja"" ujarnya meyakinkan sang ayah sebelum berangkat sembari mengikat tali sepatunya yang berwarna putih.

Berbalut kerudung hitam dan mengenakan masker, putrinya terlihat cantik sekali. Ia tersenyum membenarkan pilihan putri sulungnya. Keberaniannya untuk menolong dan mengevakuasi orang yang melakukan perlawanan dengan Israel, pasukan yang juga telah ikut meluluhkan toko onderdilnya tahun 2014 lewat serangan udara.

Sang istri tersenyum di sebelahnya. Keduanya melepas Razan dalam misi kemanusiaan penuh kebanggaan.

"Aku bangga padamu, Putriku."

**

Pagi ini, hari ke enam belas Ramadhan 1439 Hijriyah.

Bau dan asap ban terbakar mewarnai hari. Batu-batu melayang dilemparkan sebisa mungkin oleh warga Palestina yang terlibat. Ribuan demonstran tersebut belum menyerah melakukan aksinya. Mereka membuat kerusuhan di sepanjang pagar keamanan. Protes Great Return March yang telah dimulai bulan Maret lalu. Menyerukan hak Palestina untuk kembali ke rumah darimana mereka diusir sejak tahun 1948.

Seorang lelaki tua dipukuli kepalanya. Beberapa demonstran cedera akibat tembakan gas air mata.

"Razan, bahaya ke sana," cegah lelaki yang terpaut umur beberapa tahun diatasnya.

Razan menggeleng. Nuraninya berontak.

Lelaki itu berusaha menahannya.

"Tunggu sebentar. Kamu bisa mati," kata lelaki itu begitu tegas dan penuh kecemasan.

"Aku tidak takut mati. Kematian adalah kematian. Tidak, aku tidak takut mati!"

Ya, setiap yang bernyawa pasti akan mati. Lelaki itu sudah tahu gadis yang dikenalnya beberapa waktu sebagai sesama sukarelawan itu memang tidak takut apapun. Yang bisa ia lakukan adalah tetap berada di samping Razan. Ia memanggil dua orang lain lagi. Tim medis lengkap dengan rompi dan mengangkat kedua tangan lalu berlari dalam kerumunan massa yang tak terkendali.

Walau dalam hujan gas air mata. Razan bergegas ke area bahaya. Ia agak berlari dengan jas putih bersihnya. Tak sedikitpun ia melambatkan langkah. Sesekali name tag dengan tali berwarna kuning yang tergantung di dadanya mengganggunya. Ia memutuskan menyelipkan di balik rompi medisnya. Ia mengangkat kedua tangan menekankan bahwa mereka tidak menimbulkan ancaman bagi pasukan bersenjata.

Menolong demonstran yang terluka adalah tugasnya. Ia membalut pria yang terkena gas air mata. Begitu pria dibawa ke ambulans, terdengar beberapa tembakan dari seberang pagar yang berjarak 100 meter dari tempatnya oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Tiga tentara sekali tembak menghasilkan tiga bullet. Merobohkan temannya.

Namun, ia belum menyadari kalau peluru juga mengenai tembus ke dadanya. Hingga ia merasa bagian punggungnya panas terbakar. 

"Punggungku, punggungku!"

Dia jatuh ke tanah. Air mata menitik bukan karena ketakutan. Karena ia tahu inilah waktunya. Ia tersungkur. Dan, mulai kehilangan kesadaran saat, satu temannya lagi terkena fragmen peluru.

Razan tertembak di dadanya dengan peluru tajam. Satu peluru menembus lubang di bagian belakang rompi. Darah mulai merembes ke rompinya dan segera mengotori seragam putihnya.

Tim medis dari bulan sabit merah segera memberi pertolongan pertama. Razan segera dipindahkan ke Rumah Sakit Eropa di Khan Younis. Alloh berkehendak lain. Nyawanya tak tertolong.

***

"Aku kembali. Aku tidak mundur. Silakan tembak, aku tidak takut."

Pria muda itu terus meratap. Ia masih tak percaya dengan kepergian perempuan yang telah bersamanya setiap hari. Dari pukul tujuh pagi hingga delapan malam. Bukan karena gaji tapi karena Alloh.

Serpihan-serpihan memori percakapan dengan Razan berlompatan. Betapa keberanian dan kecintaannya pada negerinya tak akan pernah bisa disandingkan dengan Razan.

"Tentara Israel berniat untuk menembak sebanyak yang mereka bisa," katanya pada suatu ketika ia membantu Razan membenarkan masker di antara demonstran.

Kedua tangannya mengusap mukanya penuh tekanan. Menahan agar air mata itu tak bisa menjebol bendungan. Kehilangan ini meninggalkan duka yang dalam.

"Ini gila dan aku akan malu jika aku tidak ada di sana untuk bangsaku."

***

"Allohu Akbar... "

Gema takbir terus menggema di antara ribuan pelayat yang mengantarkan jenazah Razan. Jenazahnya diusung berbalut bendera Palestina. Ayah Razan terus memegangi seragam medis putrinya, yang telah berubah warna karena darah dan berlubang. Sang ibu berusaha tegar begitu juga lima adiknya. Sementara tim paramedis memendam duka yang begitu mendalam. Mereka berjuang bersama tanpa senjata. 

Razan Ashraf Al Najjar syahid di hari Jumat di bulan mulia. Ia menyusul Sumayyah, syahidah wanita pertama yang tewas setelah tombak pendek menghunjam tempat penghormatannya. Surga Firdaus janji Alloh.

"Malaikatku meninggalkan tempat ini, dia sekarang berada di tempat yang lebih baik. Aku akan sangat merindukannya. Semoga jiwamu beristirahat dalam damai, putriku yang cantik."

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun