Ketika Dua Bocah Sakit Bersamaan
Hari kedua puasa Ramadhan 1441 H ini, kedua anak saya sakit bersamaan. Saat tidur malam hari tiba-tiba badan mereka panas. Padahal siangnya masih hebring seperti biasa. Situasi yang sedang berada di tengah pandemi Corona membuat saya sebagai ibu makin parno. Karena sore hari mereka ikut membeli cendol.
Keesokan harinya, saya memberikan keduanya obat penurun panas. Panas Abang berkurang tapi di beberapa bagian tubuhnya mulai muncul bintik merah dan sebagian berair. Sedangkan Kakak harus minum penurun panas sekali lagi dan malam harinya dikompres.
"Ini cacar air," kata suami menanggapi gejala Abang di hari berikutnya. Sementara Kakak sudah tidak panas dan hanya mengeluh capek serta tidak nafsu makan.
Kakak sudah pernah cacar air. Katanya virus ini hanya menginfeksi satu kali seumur hidup. Mungkin ia demam lebih lama karena tubuhnya merespon dan antibodi melawan virus cacar yang masuk.
Sekarang giliran Abang. Apakah mau segera dibawa ke dokter atau bagaimana? Karena pengalaman saya sendiri waktu terkena cacar air dan saat merawat Kakak dulu, sepertinya belum perlu ke dokter. Dokter pertama bagi saya adalah Buk'e alias ibu saya yang saat ini di kampung.
Melalui sambungan telepon, ibu menyarankan agar Abang tetap mandi air hangat yang diberi garam. Sebaliknya, kata mertua yang sekota tapi jarak rumahnya cukup jauh, melalui telepon menyarankan agar tidak dimandikan dulu. Tidak sekali ini saja saya mengalami benturan kebiasaan sebagai keturunan Jawa yang memiliki suami berdarah Sunda.
Sebagai ibu milenial, menghadapi situasi seperti ini saya tetap harus bersikap cerdas. Saya tak boleh membenturkan pendapat keduanya. Sebisa mungkin saya menanggapinya dengan sopan agar keduanya tidak tersinggung.
Dua hari pertama pasca cacar keluar, Abang menjadi sangat rewel. Tidurnya tidak nyenyak, inginnya dikipasin, dan sesekali minta digendong. Ada cacar di telapak tangan kanannya membuatnya semakin payah. Dia yang biasanya minum sendiri jadi harus dipegangi gelasnya. Namun, alhamdulillah nafsu makan Abang tetap besar. Berbeda dengan Kakak, walau panasnya sudah hilang tapi belum semangat makan dan mengeluh mulutnya pahit.
Saya tidak tahu, tapi selalu saja begitu. Kalau satu sakit, pasti yang satunya ikut sakit, seperti orang janjian. Mungkin karena usia yang berdekatan. Rasanya mereka itu senasib sepenanggungan. Ketika Kakak sudah sembuh dan melihat masih banyak bercak di adiknya, ia pun sigap merawat dengan menaburkan bedak.
Karena sakit bersamaannya tepat di Bulan Ramadhan, sehingga energi yang dikeluarkan pun harus ekstra. Apalagi saya berkomitmen ikut Satu Ramadhan Bercerita (Samber) Kompasiana one day one article. Nah, saat anak sakit seperti ini penting sekali dukungan dan kerjasama dari suami. Ketika saya sudah siap meracik bumbu lalu tiba-tiba terdengar rengekan Abang, suami melanjutkan memasak. Lalu, ketika kedua krucil mengeluh bersamaan, Ayah bisa sama Kakak dan saya bersama Abang.