Pangrango
Pangrango Penulis

Happy Gardening || Happy Reading || Happy Writing || Happy Knitting^^

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Tidak Ada Berkah Sadranan Tahun Ini

18 Mei 2020   19:59 Diperbarui: 18 Mei 2020   20:11 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tidak Ada Berkah Sadranan Tahun Ini
Simbah menata makanan di dalam jodang saat tradisi sadranan (Foto: Darma Legi)

Sekitar sebulan mendekati Ruwah atau bulan sebelum sasi Poso dalam penanggalan Jawa, simbah setri (nenek) biasanya sudah bingung. Dia akan mulai menghubungi dan membagi tugas untuk anak cucunya mengingatkan tradisi sadranan. Siapa yang bakal membeli buah, siapa yang menyiapkan jajanan pasar, siapa yang belanja, hingga siapa yang memasak?

Tradisi ini akan dimulai tanggal 15 Ruwah atau Syaban dalam kalender Islam/Hijriyah, kira-kira dua minggu sebelum puasa Ramadhan. Sadranan bagi orang Jawa di daerah saya, Klaten, dan sekitarnya kerap disebut Lebaran itu sendiri. Kata simbah, Lebaran tidak bisa pulang tidak apa-apa tapi saat sadranan harus pulang. 

Sadranan sendiri merupakan serangkaian tradisi di Bulan Ruwah menyambut puasa. Tradisi ini diawali dengan nyekar atau ziarah ke makam keluarga, pancen di rumah atau memberikan persembahan kepada keluarga yang  sudah meninggal.

Nyekar di bulan Ruwah (Foto: Darma legi)
Nyekar di bulan Ruwah (Foto: Darma legi)

Puncaknya adalah sadranan dengan memikul jodang di suatu tanah lapang di desa. Semacam pesta rakyat dengan mengumpulkan sanak kerabat di perantauan. Bagi saya inilah yang paling seru. Tidak hanya satu keluarga tapi seluruh keluarga di satu kampung tersebut dikumpulkan. Kemudian, dikomandani oleh mudin atau perapal doa, orang-orang akan mulai berebut buah atau makanan yang ada di dalam jodang.

Berebut buah di dalam jodang (Foto: Darma Legi)
Berebut buah di dalam jodang (Foto: Darma Legi)

Uniknya, tanggal sadranan sendiri tidak bareng atau tidak digelar serentak dalam satu kabupaten. Misalnya, di Lusah, desa nenek saya, sadranan digelar tanggal 20, tapi di Cucukan kampung saya baru digelar tiga hari setelahnya. Padahal desa kami masih satu kecamatan. Kata nenek, ini berdasarkan urutan umur desa. Desa nenek lebih dulu ada dibanding desa saya. Kadang dalam satu desa yang membawahi beberapa dukuh, pun sadranan tidak dilaksanakan secara serentak. Sebab sadranan dilaksanakan per dukuh/dusun. 

Sadranan yang tidak bersamaan ini juga menyebabkan Bakdo/Bodo (Lebaran) tidak bareng. Bakdo adalah tradisi sungkem antar keluarga maupun tetangga. Di Klaten, walaupun shalat Idul Fitrinya bersamaan tapi Bakdo-(Lebaran) nya tidak sama. Di desa nenek saya, Bakdo-nya adalah Hari H usai salat Idul Fitri sedangkan di desa saya, Bakdo-nya hari kedua atau keesokan setelah salat. Bingung? Biar tidak bingung, hayuk kapan-kapan merayakan Bakdo di kampung halaman saya.

Jadi akibat perbedaan hari Bakdo tersebut, saat kita hendak silaturahmi ke kerabat yang berbeda desa pasti hal pertama yang akan ditanyakan adalah kono Bakdo'ne kapan? (Sana Lebarannya kapan?). Sebab, jika kita datang di hari bukan Bakdo-nya, orang-orang maupun jamuan di ruang tamu pun akan ala kadarnya. Berbeda saat Bakdo-nya bisa satu kampung itu ramai sekali.

Jangan bayangkan ini seperti perbedaan hari salat Idul Fitri. Jika salat Idul Fitri bisa bareng atau berbeda hari, Bakdo ini terus seperti ini sejak dahulu. Jadi jika hari pertama Idul Fitri usai salat saya akan melewatkan waktu untuk bersilaturahmi di rumah nenek, maka hari kedua baru bersilaturahmi dengan tetangga di rumah. 

Tak Ada Berkah Sadranan

Tahun ini simbah yang di awal Ruwah mulai membagi tugas anak-anaknya harus menelan kekecewaan. Sekitar seminggu sebulan sadranan, pemerintah daerah memutuskan tidak ada sadranan tahun ini akibat pandemi global Corona. Ini adalah pertama kalinya tidak ada tradisi sadranan.

Seharusnya, sadranan ini jatuh sekitar awal April. Namun, Covid-19 dinyatakan positif masuk ke Indonesia tanggal 2 Maret. Dua minggu sesudahnya, muncul himbauan Work From Home (WFH), belajar dari rumah, dan pada akhirnya pemerintah juga melarang aktivitas yang menyebabkan kerumunan. Hal ini dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran virus Corona.

Menurut keyakinan nenek yang saat ini usianya sudah sekitar 90 tahun, sadranan merupakan ritual mengirim doa kepada leluhur agar kita mendapat berkah. Saat nyadran, roh leluhur atau keluarga yang sudah meninggal dipercaya akan pulang menengok rumah. Untuk itu harus disediakan pancen berupa makanan lengkap di kamar.

Saat jodang sudah kembali, pancen ini akan dibongkar. Menurut keyakinan nenek, siapa yang memakan makanan pancen akan mendapatkan berkah sebab sudah mendapatkan doa dari leluhur. Saya selalu mendapatkan jatah pancen dari nenek.

Usai rebutan jodang, perantau yang pulang kampung saat Ruwah akan dijamu dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Tidak semua desa menyelenggarakannya, tapi kampung saya menyelenggarakan pagelaran ini dua tahun sekali.

Pagelaran wayang kulit semlam suntuk (Foto: Darma Legi)
Pagelaran wayang kulit semlam suntuk (Foto: Darma Legi)

Terakhir, untuk menutup serangkaian tradisi di bulan ruwah adalah padusan. Padusan merupakan ritual yang dianggap dapat menyucikan diri sebelum Ramadhan tiba. Bagi masyarakat Klaten kerap melaksanakan padusan di umbul atau kolam yang berasal dari mata air alami. Saya sendiri sejak kecil tidak pernah padusan di keramaian. Karena takut kulak panu akibat orang beramai-ramai nyemplung ke satu kolam yang sama. Sama halnya dengan anjuran pemerintah saat ini, padusan saya selalu cukup #dirumahsaja.

Semoga wabah yang menyerang global ini segera berakhir. Tidak ada kekecewaan lagi bagi nenek yang selalu menunggu datangnya bulan Ruwah. Bulan yang menurut keyakinannya merupakan waktu leluhur pulang membagi berkah dan anak cucu beserta kerabat berkumpul bersama.

*Foto-foto diambil tahun 2015 dan 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun