Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat
Belanja Ramadan, Waspadai Promo, Dukung Produk UMKM Debutan
Sejak di pintu masuk Mall sudah terpampang segala macam atribut tawaran promo, belum lagu begitu masuk ke dalam. Masing-masing brand bahkan sudah promo sendiri-sendiri sebagai daya tariknya.
Para product marketer yang bertanggung jawab untuk menyusun dan menjalankan strategi promosi agar penjualan meningkat, tentu terus bergerilya memakai trik khusus untuk memancing para pembelanja.
Yang paling umum selama musim belanja ramadan dan menjelang hari raya adalah memakai trik berbelanja dengan pola akumulasi belanja yang nantinya "berbuah" diskon tambahan untuk produk tertentu yang ditandai dengan label warna.
Beberapa mal memasang tanda menggunakan warna. Misalnya semua produk yang dipasangi lebel berwarna biru berarti diskon, maka para pembelanja bukan lagi berbelanja berdasarkan kebutuhan tapi justru mencari produk berlabel biru untuk mendapatkan promo khusus itu.
Meski mendapat diskon, itu artinya kita di pancing belanja lagi. Konsumen akan untung jika memang masih berniat belanja yang dibutuhkan, lain halnya jika sekedar memanfaatkan diskon belaka.
Nah, disatu sisi memang konsumen diuntungkan dengan adanya diskon, tapi disebaliknya, sebagai pembeli kita bisa menjadi kalap saat berbelanja. Akhirnya kita menjadi Impulsive Buying?.
Impulsive buying adalah istilah bahasa Inggris yang berarti belanja impulsif. Dengan kata lain, impulsive buying adalah keinginan seseorang untuk membeli suatu produk dalam jumlah banyak secara tiba-tiba tanpa melalui pertimbangan dan proses berpikir panjang.
Kita membeli barang bukan berdasarkan kebutuhan tapi karena keinginan. Memang tak semua pembelanja bertindak seperti itu. Para ibu yang cerdas, tetap berpatron pada prinsip frugal living--pola hidup hemat.
Jika harus mencari harga promo pada label tertentu pun disesuaikan dengan barang-barang yang menjadi kebutuhan utama.
Namun sayangnya para product marketer tentu ditugaskan untuk meng-optimalkan penjualan produk tertentu agar dibeli. Artinya sasaran produk yang dipromosikan, bisa jadi bukan hanya produk primer, tapi justru produk sekunder bahkan tersier, terutama jenis barang yang kurang mendapat respon konsumen. Atau produk atau merek baru yang belum dikenal.
Inilah sebenarnya yang harus diwaspadai oleh para konsumen saat berbelanja untuk keperluan ramadan maupun nanti untuk persiapan menyambut lebaran.
Promo Produk Debutan UMKM
Hal yang menarik perhatian saya adalah bahwa selama musim belanja promo ramadan, dan jelang hari raya bermunculan produk pakaian atau out fit yang diproduksi oleh para pegiat bisnis Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Di label atau banner yang memajang produk baru atau merek yang sedang diperkenalkan dari para UMKM tak hanya memasang harga dan merek, namun juga menjelaskan bahwa produk tersebut adalah hasil dari kreatifitas para pebisnis UMKM.
Suasana yang terbangun di dalam mall yang bekerjasama dengan jaringan pengusaha baru UMKM lebih terasa seperti pameran busana. Terutama karena setiap produk tak hanya memajang koleksi busana baru hasil UMKM tersebut, tapi juga berikut nama desainernya dan portofolio yang dimilikinya.
Disatu sisi ini menjadi sugesti bagi para konsumen untuk tak sekedar membeli produk yang juga tak kalah menarik dari sisi desain dibanding barang pabrikasi atau butik.
Konsumen juga membeli karena rasa empati dan bentuk kepedulian mendukung pengembangan bisnis UMKM. Ini adalah sisi yang positif dalam pengembangan bisnis UMKM dengan memfaatkan jaringan toko ritel atau super market untuk perluasan jangkauan pasar dan pengenalan produk.
Meski menjadi salah satu kewaspadaan agar kita tetap berhati-hati tak belanja jor-joran, produk debutan para desainer dari UMKM patut menjadi rujukan pilihan produk outfit untuk ramadan atau lebaran.
Sebagai konsumen kita patut mendukung produk asli Indonesia ini di pasaran, dengan cara membeli produknya tapi jangan lupa tetap cermat berbelanja.
Risiko Jika Terjebak Promo dan jadi Maniak Belanja
Kembali kepada soal belanja yang sembarangan dan asal beli, jika tak hati-hati, kita bisa-bisa akan masuk kategori para shopaholic. Banyak orang yang belum mengetahui tanda dan cara mengatasi shopaholic. Padahal, perilaku kecanduan belanja ini umum terjadi.
Jika dibiarkan, shopaholic bisa menimbulkan banyak masalah bagi si gila belanja tersebut, baik secara ekonomi maupun sosial.
Kecanduan belanja atau shopaholic termasuk salah satu jenis gangguan kontrol impuls dalam membeli sesuatu. Kondisi ini diakui sebagai gangguan mental di awal abad ke-20, dan hingga kini penderitanya semakin meningkat sering dengan perkembangan belanja online.
Orang yang tergolong sebagai shopaholic biasanya menjadikan acara belanja menjadi cara utama untuk mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan, walaupun cuma bersifat sementara.
Perilaku banyak orang saat berbelanja, di tengah serbuan promo yang habis-habisan cenderung akan membuat kita menjadi si impulsive buying atau si pembelanja impulsif yang kini makin sering muncul dan menjadi salah satu prioritas pencarian solusi dalam pembahasan para perencana keuangan.
Sebuah riset menarik dari The Trade Desk pada tahun 2021 menunjukkan 64% orang Indonesia yang terbiasa berbelanja online beberapa kali dalam seminggu sebenarnya mengaku sebagai pembeli yang berencana.
Tapi saat muncul promo spesial seperti tanggal kembar, sebagian besar pembeli berencana ini berubah menjadi pembeli impulsif, di mana 42% di antaranya mengakui berbelanja lebih banyak pada saat musim diskon. Tak hanya menyimpan di "keranjang belanja" tapi langsung membelinya tanpa pikir panjang.
Nah, berbeda dari pemahaman kita tentang perilaku konsumtif yang berarti mengonsumsi barang atau jasa secara berlebihan, impulsive buying atau belanja impulsif artinya belanja berdasarkan keinginan sesaat dan tanpa pikir panjang. Pokoknya asal melihat barang sedang diskon setengah harga, langsung membeli padahal sedang tidak butuh produknya.
Pengalama yang pernah terjadi di sekolah saat akhir pekan, biasanya datang pedagang yang membawa barang promo (tentu saja mereka menegosiasi pihak sekolah soal izin), begitu masuk mereka menggelar semacam demo produk. Sebagiannya langsung menghasilkan produk (seperti kuliner) dan hasilnya dibagikan gratis kepada para guru.
Apa dampak berikutnya?, mulailah para ibu kasak kusuk untuk membeli barang dengan alasan, kapan lagi kan lagi promo. Lagipula banyak yang tiba-tiba menjadi seolah "butuh" produk tersebut. Beberapa lantas membeli, karena melihat teman lainnya meng-order.
Seminggu berlalu, mulai ada yang tanya-tanya soal bagaimana sih cara pakainya produknya (misalnya oven listrik). Rupanya setelah digunakan hasilnya tak maksimal. Apalagi yang biasanya pakai oven kompor minyak, yang menurut para ibu meski sedikit ribet tapi hasilnya tak pernah mengecewakan.
Begitulah perilaku belanja impulsif berlaku di kalangan para ibu guru di sekolah saya yang diawali karena adanya godaan promo, plus tambahan produk lain jika membeli selama masa promo. Hasilnya beli oven listrik dapat hadiah dispenser mini plus sendok nasi (lumayan gratisan).
Tapi lucunya setelah terbeli, malah pada bingung, karena mereka baru menyadari bahwa produk itu ternyata tak terlalu penting untuk sekarang ini, apalagi bonusnya cuma centong nasi. Setiap kondangan hajatan di komplek saja, selalu dapat hadian centong nasi sampai bisa dikoleksi karena ragam warna dan material berbeda-beda, mulai dari plastik hingga logam.
Mengapa sudah tau tak butuh tapi tetap terbeli juga?
Lagi-lagi masih menurut riset, ada 48% orang yang rutin berbelanja online ternyata menemukan promo dan informasi diskon dari iklan yang tayang di platform over-the-top (OTT).
Begitu nonton dan si pembawa acara bilang, "ayo buruan keburu abis, cuma dapat promo saat tayang", membuat orang terdorong untuk belanja.
Apalagi kalau sudah bilang," check out..check out!--istilah yang artinya merupakan tahap saat pembeli mengkonfirmasi barang-barang yang telah ditempatkan pada keranjang belanja mereka dan menyelesaikan transaksi dengan melakukan pembayaran.
Saat check out, pembeli akan diminta memeriksa kembali detail pesanan mereka, memilih metode pengiriman, memasukkan informasi pembayaran, dan menyelesaikan transaksi. Dan pesanan kita diproses!.
Yang jelas, banyak faktor eksternal juga yang ikut menggoda kita untuk berbelanja. Cobalah amati barang yang dijajakan secara online di tivi saat jeda iklan sinetron di jam tayang padat (traffic jam).
Harganya murah, bentuk dan warna kemasan produk menarik, dan tentu saja promonya berdiskon besar. Bahkan untuk penjual barang interior di toko khusus selama masa promo, interior ruang produknya dibuat menarik, area produk luas seperti pameran.
Bahkan yang jual perangkat set meja makan atau tempat tidur lengkap dengan dekor kamar seolah sebuah realitas sungguhan, bukan sedang di toko. Ditambah lagi toko berpewangi dan ber-AC yang bikin betah para pembelanja.
Selebihnya mungkin berkaitan dengan kebiasaan pamer di medsos--flexing!. "Hi guys, menurutmu gimana outfitku keren kan?", sebuah unggahan muncul di medsos dengan produk keluaran baru. (sebagian sebeanrnya ada yang tidak cocok dengan si pemakainya, tapi "maksa" karena barang branded).
Flexing adalah praktik memamerkan kekayaan material, prestasi, atau gaya hidup mewah di platform seperti Instagram, Twitter, atau TikTok. Ini melibatkan berbagi foto atau video yang menampilkan barang-barang mewah, perjalanan mewah, atau pencapaian pribadi yang mengesankan.
Faktor lainnya yang bisa bikin kita keblablasan berbelanja adalah, gengsi, mental kita yang tak kuat iman lihat medsos apalagi milik tetangga, rendahnya pertimbangan atas kondisi dan perencanaan keuangan.
Dan muaranya tentu saja sifat materialisme yang ingin membangun citra diri melalui barang kepemilikan. Bahkan di medsos pernah ada seseorang yang berbelanja banyak produk cuma karena alasan suasana hati yang buruk!.
Fantastis bukan?, meskipun soal fulus mungkin sangat personal, karena tidak tahu harus disalurkan kemana, namun perilakunya menjadi sesuatu yang tidak umum.
Tapi jika dimaksudkan untuk menghadiahi diri sendiri setelah bekerja keras (self-reward), itu sih boleh-boleh saja, asal tak berlebihan juga.
Bagaimanapun berbelanja tanpa perhitungan apalagi karena berburu promo saat ramadan misalnya, selalu punya sisi buruk atau risiko.
Bentuk pertahan terbaik tentu kita harus "tetap waras", dalam merencanakan keuangan yang matang. Termasuk membuat anggaran yang isinya prioritas belanja.
Meskipun ini tak semudah yang kita bayangkan, karena butuh kedisiplinan diri untuk tatap waras saat berbelanja. Sehingga anggaran untuk alokasi harian, mingguan, hingga tahunan tak sia-sia sekedar jadi resolusi atau rencana unsich!.
Bahkan jika memang serius finansial bisa aman terkendali, kita harus bisa melacak pengeluaran dan mengevaluasi keuangan secara berkala. Seperti keuangan perusahaan saja.
Dan pastinya harus jelas mana uang untuk belanja kebutuhan atau keinginan. Kebutuhan rumah dan segala tetek bengek-nya tentu menjadi prioritas, agar uang pemberian suami atau hasil kerja keras keringat sendiri tak sia-sia menjadi sampah atau barang penghuni garasi.
Untung kalau laku dengan harga bagus saat garage sale, seperti kebiasaan di luar negeri, yang menjual barang seken di depan garasi rumah kepada para tetangga atau pejalan yang melewati garasi mereka..
Tanamkan bahwa kebiasaan impulsive berkedok 'self-reward' bisa menyusahkan diri sendiri. Karena siapapun bisa jadi korban, apalagi kalau berhadapan dengan barang bagus dan promo di mal atau medsos. Rasanya tiba-tiba semua barang menjadi sangat "dibutuhkan", padahal intinya kita cuma tak mau kehilangan momen bisa beli barang dengan harga murah (tapi sekali lagi bukan barang kebutuhan tapi cuma keinginan belaka!).
Intinya, baik impulsive buying maupun perilaku konsumtif baru disadari oleh kita jika telah berbelanja barang terlalu banyak, tapi kita sendiri tak tahu apa gunanya (untuk saat itu).
Belum lagi dampaknya yang bikin jebol kantong--budget sebulan hilang untuk produk yan kita sendiri tak paham manfaatnya, dan sudah terbeli karena promo.
Jadi waspadalah sebelum menyesal kemudian, karena dampak fatalnya selain bisa menyebabkan terhambatnya aliran kas dan utang konsumtif, apalagi di saat ekonomi sulit saat ini.
Barangkali ini juga alasan mengapa kelas menengah susah naik kelas, apalagi dengan maraknya godaan "pasar online" dengan segala macam kemudahan.
Termasuk "ajaran baru" paylater , belanja dulu bayar belakangan (siapa yang bayar?), jika tak disikapi dengan bijak menjadi cara kita menjadi boros dan menjadi pelaku impulsive buying atau si gila belanja.
Selamat berbelanja promo ramadan dan lebaran, tapi tetaplah menjaga kewarasan kita agar tak belanja jor-joran.