Rosya Mawaddah Susanto
Rosya Mawaddah Susanto Mahasiswa

Rosya Mawaddah S PBS A UIN MALIKI MALANG

Selanjutnya

Tutup

TRADISI Pilihan

Tradisi Masyarakat Kelurahan Sumbersari Kota Malang dalam Menyambut Bulan Suci Ramadhan

1 April 2022   00:06 Diperbarui: 1 April 2022   00:08 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak terasa bulan Ramadhan tinggal hitungan hari. Bulan yang sangat ditunggu-tunggu oleh umat Muslim, bulan yang penuh keberkahan, bulan yang suci, bulan yang penuh rahmat dan pengampunan. Ini kali pertama aku merayakan bulan Ramadhan di negeri orang. 

Ya, kali ini aku akan merayakan bulan suci Ramadhan di Kota Malang, kota dimana aku menimba ilmu di tingkat universitas, tentunya dengan suasana yang sedikit berbeda, dengan kegiatan yang sedikit berbeda pula dan juga dengan tradisi yang berbeda. 

Di kampung halamanku sebelum datang bulan suci Ramadhan para masyarakat melakukan sebuah tradisi untuk menyambut bulan suci Ramadhan seperti doa bersama maupun bersih-bersih desa. Namun, apakah di Kota Malang juga terdapat tradisi yang serupa dengan kampung halamanku?

Rasa penasaranku semakin tinggi, aku pun berniat untuk berkunjung ke rumah sesepuh sekaligus tokoh agama yang berada di sekitar kampusku untuk bertanya mengenai tradisi apa yang ada di Kota Malang dalam menyambut bulan suci Ramadhan. 

Tetapi, aku sedikit kebingunan, bagaimana aku mendapatkan alamat rumah sesepuh sekaligus tokoh agama di desa sekitar kampusku, dan daerah mana yang akan ku kunjungi. 

Aku yang tak kehabisan ide, kemudian bertanya kepada kakak kelasku yang saat ini tinggal di sebuah kost di Kelurahan Sumbersari. Tak lama kemudian kakak kelasku menyarankanku untuk mencoba ke sebuah masjid bernama Manarul Huda di Kelurahan Sumbersari.

Keesokan harinya, aku bergegas menuju masjid Manarul Huda dengan harapan bertemu dengan takmir dan segera mendapat alamat rumah sesepuh sekaligus tokoh agama di Kelurahan Sumbersari. Tetapi nasib baik tak berpihak padaku, masjid Manarul Huda gerbangnya terkunci, dan tidak ada orang di dalamnya. 

Akupun segera berjalan menuju rumah-rumah warga yang dekat dengan masjid tersebut untuk bertanya mengenai keberadaan takmir masjid itu. Tetapi habis gelap terbitlah terang, aku langsung mengetahui alamat rumah sesepuh sekaligus tokoh agama Kelurahan Sumbersari dari warga sekitar, dan ternyata tempatnya sangat dekat. Akupun bergegas menuju alamat yang telah diberikan.

Sesampainya di alamat tersebut, aku langsung bertemu dengan sosok sesepuh sekaligus tokoh agama tersebut. Kemudian, akupun segera meminta izin kepada beliau untuk ku wawancarai mengenai tradisi menyambut bulan suci Ramadhan. 

Tetapi lucunya aku harus berteriak ketika berbicara dengan beliau dikarenakan usianya yang sudah lanjut, tentu pendengarannya pun sudah berkurang. Tetapi bukan masalah bagiku, yang terpenting aku dapat bersilaturahmi dengan beliau, sekaligus bertanya mengenai tradisi menyambut bulan suci Ramadhan di daerah sumberdari.

Bapak Haji Ridwan, kurang lebih berumur 90 tahun. Beliau merupakan penduduk laki-laki asli tertua di  Kelurahan Sumbersari Kota Malang, selain itu beliau juga merupakan seorang imam masjid Manarul Huda dengan kurun waktu kurang lebih 30 tahun. Beliau merupakan sosok yang intelektual, cerdas, tekun, ramah, baik, dan sangat mengagumkan. 

Di usia yang mendekati kepala 9 itu beliau masih bisa berbahasa Inggris dan sedikit bahasa Jepang, ingatan beliau sangat kuat. Bahkan beliau pernah merasakan bangku perkuliahan di sebuah Univesitas yang sekarang bernama Universitas Brawijaya. Beliau juga telah menunaikan ibadah haji selama 2 kali dan ibadah umroh sebanyak 12 kali. Sebuah anugerah terindah dapat bersilaturahmi dengan orang hebat seperti Bapak Ridwan.

Bapak Ridwan menjelaskan bahwa di Kota Malang, khususnya Kelurahan Sumbersari, terdapat sebuah tradisi yang biasa dilakukan masyarakat untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Tradisi tersebut bernama "Megengan". Beliau berkata, sebenarnya istilah megengan itu tidak terdapat di syariat Islam tetapi istilah megengan ada sejak pada zaman wali, yang kemudian mandarah daging hingga saat ini. 

Acara megengan sebenarnya tidak memiliki makna khusus, acara megengan memiliki tujuan hanya untuk menyambut bulan suci Ramadhan, dan sebagai rasa syukur atas kedatangan bulan suci umat Islam yang dinanti-nati. Megengan biasanya dilakukan dengan cara memasak makanan, kemudian dimasukkan ke dalam tempat nasi yang dikenal dengen istilah "cething" kemudian di bawa ke masjid dan mengadakan doa bersama. 

Ketika megengan biasanya terdapat sebuah kue yang menjadi ciri khas yang bernama apem, kue tersebut bertekstur lembut dan basah, yang terbuat dari tepung beras, santan, ragi atau tape singkong. Kue apem memiliki rasa yang manis dengan sedikit rasa asam yang khas.

Selain tradisi megengan, juga terdapat tradisi bersih desa, biasanya dilakukan dengan cara membersihkan makam yang ada di desa, dengan tujuan agar makam menjadi bersih dan terawat. Selain membersihkan makam, biasanya masyarakat Kelurahan Sumbersari juga membersihakan tempat ibadah seperti mushola dan masjid. 

Tak lupa, masyarakat Kelurahan Sumbersari juga membersihkan rumah masing-maisng dan lingkungan sekitar rumah. Hal tersebut dilakukan lagi-lagi agar mushola, masjid dan lingkungan sekitar menjadi bersih, dan indah dipandang untuk menyambut bulan suci Ramadhan.

Kemudian Pak Ridwan berkata dengan ekspresi sedih, bahwa tradisi megengan pada zaman dahulu dan zaman sekarang sangat berbeda. Pada zaman dahulu, ketika megengan akan dilaksanakan, para masyarakat Kelurahan Sumbersari sibuk memasak didapur mereka masing-masing, untuk membuat makanan yang akan diantar ke masjid dan didoakan bersama-sama. Namun, zaman sekarang masyarakat Kelurahan Sumbersari memilih untuk membeli makanan di orang lain, kemudian diantar ke Masjid. 

Dahulu masyarakat Kelurahan Sumbersari sibuk membuat kue apem, tetapi sekarang mereka memilih jalan yang praktis yaitu cukup membeli kue apem kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastic bersama makanan lainnya. Kemudian di antar ke masjid. Tak hanya itu, Pak Ridwan juga mengeluhkan bahwa Ramadhan semakin hari semakin sepi rasanya, tidak se ramai dahulu. 

Tetapi beliau menyadari bahwa zaman semakin maju, teknologi semakin canggin. Jadi, wajar saja jika tradisi-tradisi menyambut bulan suci Ramadhan tidak se meriah dahulu dikarenakan godaan dari tekonologi sekarang seperti godaan gadget yang secara tidak langsung membuat manusia menjadi sosok individual bagi yang tidak bisa memanfaatkan teknologi dengan bik dan benar.

Dari sini dapat kita Tarik kesimpulan, bahwa masyarakat Kelurahan Sumbersari Kota Malang mengadakan tradisi megengan dan bersih desa untuk meyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Selain itu, dapat kita mengambil pelajaran bahwa orang Jawa yang memiiliki banyak tradisi, kita sebagai orang Jawa seyogyanya tidak melupakan tradisi begitu saja. 

Seharusnnya sebagai generasi penerus bangsa, di era milenial ini kita harus tetap melestarikan budaya yang telah ada, dan merasa bangga akan tradisi yang dibawa oleh leluhur kita. Karena ada seorang pepatah berkata "Wong Jowo, Ojo Ilang Jawane" (orang jawa jangan hilang jawanya) yang memiliki makna, bahwa sebagai orang Jawa kita harus menjaga tradisi Jawa yang ada, terlebih generasi muda saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun