Senang membaca dan menulis, menikmati musik pop sweet, nonton film atau drama yang humanistik dan film dokumenter dan senang menikmati alam.
Low Angle: Rutinitas Ibadah Puasa Ramadan
KETIKA suatu kegiatan " terperangkap " dalam suatu rutinitas, tidak tertutup kemungkinan memang akan berakibat " minimnya " penghayatan alias menjadi dangkal. Hal itu pun tidak terkecuali pula pada bidang ibadah, misalnya puasa Ramadhan. Setiap setahun sekali, bagi umat Islam akan menghadapi rutinitas puasa Ramadhan. Dan kesempurnaan ibadah puasa Ramadhan dilengkpi dengan " paket " zakat fitrah, shalat 'ied plus hala bi halal; berkunjung bersilaturahmi saling ma'af mema'afkan.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk memahami ibadah puasa beserta " paket " lebaran itu tadi dari sudut pandang sisi kemanusiawiannya. Atau kalau dalm Islam dari sisi " basiroh "-nya alias manusia biasa, yang tidak prnah lepas dari khilaf, salah dan dosa. Atau kita ambil gambar dari sudut pandang camera secara " low angle ", bukan " hig angle ". Kita akan tampung suara-suara kemanusiawian dari bawah " botom up ", bukan wejangan khutbah yang datang dari atas atau " top down ", namun jangan salah paham, itu bukan berarti kita mengabaikannya
Ulangan; hal yang wajar
MARI kita perhatikan bersama bahwa ulangan atau pengulangan adalah suatu hal yang wajar dalam kehidupan ini. Kita mulai dari waktu, pergantian siang dan malam yang berulang-ulang menimbulkan bilangan hari, minggu bulan dan tahun. Bilangan tahun menjadi satuan hitungan usia kita, makanya ada kebiasaan merayan ulang tahun.
Sekarang kita lihat aktifitas kita sendiri. Kita makan adalah pengulangan, sehari tiga kali. Kita bekerja juga akan terperangkap pada rutinitas, yang berarti pengulangan. Pegawai negeri atau swasta, disibukan uleh rutinitas setiap harinya. Petani, nelayan, pedanga atau profesi kerja lainnya, juga akan terjebak pada ulangan.
Demikian pula dalam hal ibadah. Bagi orang Islam, shalat wajib sehari semalam lima kali. Bagi orang Nasrani, seminggu sekali ke gereja. Bagi orang Yahudi, setiap hari Sabtu beribadah d sinagoge. Begitu juga dengan agama-agama yang lain, ada waisak, nyepi, , imleks dan sebagainya. Semua itu adalah ulangan. Jadi ulangan atau rutinitas dalam kehidupan dan bahkan dalam agama adalah suatu hal yang wajar-wajar saja.
Nah dalam ulangan -- ulangan tersebut, karena sudah menjadi kebiasaan, aktifitas terebut bisa menjadi terasa biasa -- biasa saja memang. Namun secara manusiawi juga, dalam setiap ulangan manusia pasti berusaha untuk tetap bisa menjadi baik, " enak " dan menyenangkan. Contoh sederhana
Kita setiap hari makan, supaya tidak bosan dan enak makannya, kita kreatif mengolah menu bukan ? Petani, setiap musim menanam padi dan selalu berulang, agar panennya baik, mengolah tanahnya dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Pedagang , setiap hari juga berusaha agar dagangannya bisa laku. Pendek kata, walaupun semua ulangan, rutinitas tapi tetap tidak kehilangan semangat untuk menjadikan hasil yang terbaik.
Dalam ibadah pun demikian. Bagi yang sudah memiliki kesadaran yang cukup ( tinggi ), tentu akan berusaha untuk meningkatkan kwalitas amalan agamanya, sekalipun ulangan, namun tidak sekedar formalitas dan rutinitas. Terlebih lagi dalam agama ada tuntutan dari atas " top down ", misalnya dalam shalat kita diingatkan, salah satu tanda orang yang bertakwa adalah khusu' shalatnya. Dalam puasa, kta diwanti -- wanti jangan sampai kita ternasuk orang ; banyak orang yang berpuasa, tetapi mereka hanya mendapatkan lapar dan dahaga.
Nah sekarang kita sudah bisa memahaminya, bahwa ulangan atau rutinitas dalam agama adalah hal lumrah, namun hal itu juga tidak menghilangkan tuntutan dan tantangan untukmeningkatkan kwalitas peribadatannya.
Upaya Pendinginan
MARILAH kita berprasangka baik pada diri kita masing -- masing. Katakanlah kita semua sudah melaksanakanibadah puasa ramadah dengan baik, plus paket lebarannya juga, sehingga kta dalam keadaan kejiwaan yang fitri. Masalahnya, moment seperti itu akan segera berakhir dan berlalu. Bulan " sakral " sudah lewat, selanjutnya kita memasuki bulan-bulan yang " profan "keduniawian. Terus nasib " kefitrian " kita bagaimana selanjutnya ?
Kemarin kita suci, tapi kini kta harus " nyemplung " lagi dengan kehidupan sehari-hari. Cipratan noda dosa tentu tak terhindar lagi. Karena kita manusia biasa, yang tak lepas dari khilaf salah dan dosa. Nasib kefitrian kita selanjutnya bagaimana ? semakin jauh meninggalkan bulan suci ramadhan dan paket lengkap lebarannya, sementara diujung depan kita semakin dalam memasuki bulan -- bulan biasa, sediki atau banyak , noda dosa kita juga bertambah. Nasib kefitrian kita tambah bagaimana ?
Nah, disinilah pentingnya " ibadah ulangan ". Disaat kita telah jauh blusukan memasuki bulan -- bulan profan, kita ketemu lagi dengan bulan suci ranmadhan tahun berikutnya. Kita bersihkan lagi dosa-dosa kita, kita intensifkan lagi puasa kita beserta ibadah yang lainnya. Nah dengan adanya ulangan ini, kefirian kita selalu diperbaharui. Disisi lain. ibadah ulangan ini ibarat " charger " bagi ruhani kita agar tetap punya power baru untuk melakukan ibadah berikutnya.
Jadi setelah hari yang fitri secara formal usai, karena kita ingin menjaga kefitrian kita maka hanya diam saja, tentu itu kliru. Baraktifitaslah seperti biasa, jangan lupa, saat -- saat pendinginan kita temui kita lakukan sebaik-baiknya, karena itu merupakan moment untuk membersihkan jiwa kita sebelum sampai ke 'iedul fitri berikutnya.