Pergerakan Bulan Bisa Dihitung Pakai Sains, Mengapa Masih Harus Meneropong Bulan?
"Bila dalam bentuk kata kerja kata ra'a--yara berarti melihat, maka dalam bentuk masdar masing-masing memiliki arti 'melihat' dengan klasifikasi tertentu. Ru'yah itu melihat dengan mata kepala. Sedangkan ra'yun melihat dengan ilmu, dengan pikiran."
Sementara menurut pakar falak Muhammadiyah, Oman Faturrahman, yang dikutip Ilham di situs muhammadiyah.or.id menyebutkan bahwa hadis tentang melihat bulan mengandung ilat, yaitu metode tersebut digunakan di zaman Nabi Muhammad sebab masyarakat belum mengenal baca tulis dan hisab.
Maka hadis itu, tepatnya pada redaksi, "Jika hilal di atasmu terhalang awan, maka estimasikanlah," tegas Oman, dapat diperluas maknanya menjadi: estimasi atau perhitungan dapat dilakukan meski pandangan tidak tertutup awan, karena pergerakan bulan sudah dapat dihitung dengan bantuan sains, yaitu sistem perhitungan astronomi.
Sehingga dengan menghitung (hisab), pergerakan bulan sampai beratus-ratus tahun ke depan pun dapat diperkirakan secara akurat. Bukan hanya itu, kapan metode hisab dan rukyatul hilal berbeda dapat diketahui lewat metode ini.
Dasar dari metode hisab sendiri ada pada Q.S. Yunus (10) ayat 5:
"Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui."
Juga Q.S. Ar-Rahman (55) ayat 5, "Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan." Dua ayat ini dinilai menjadi dasar absahnya penggunaan metode hisab. Meskipun dalam kajian bahasa, tidak mengena pada arti harfiah rukyat sebagaimana sudah dijelaskan di atas.
Selanjutnya, metode hisab terbagi dua, yakni imkanur rukyat, dan wujudul hilal. Metode yang disebutkan kedua yang menurut Ilham lebih meyakinkan, sebab tidak lagi berpatokan pada kriteria ketinggian derajat bulan. Apabila posisi bulan sudah sejajar dengan matahari (konjungsi) sebelum matahari terbenam, maka jangankan 3 derajat, nol koma sekian derajat pun tandanya bulan baru sudah dimulai.
Jadi, mengapa kita harus tetap meneropong bulan, atau melakukan rukyatul hilal padahal metode hisab sudah memungkinkan untuk mengetahui siklus perputaran bulan?
Jawabannya karena belum ada titik temu yang bisa mempersatukan kedua paradigma berbeda ini--serta lebih ditekankan untuk mengikuti pemerintah yang dalam hal ini tetap menggunakan metode rukyatul hilal.
Yang satu ingin mempertahankan makna asli suatu teks berdasarkan latar kemunculannya. Yang satunya lagi ingin melihat teks secara lebih luas dan lebih dialektis terhadap perkembangan yang ada.