Pergerakan Bulan Bisa Dihitung Pakai Sains, Mengapa Masih Harus Meneropong Bulan?
ramadhan tidak kunjung selesai. Secara garis besar, ada dua metode yang berbeda yang mendasari mengapa kerap terjadi perbedaan hari pertama puasa dan hari lebaran. Yakni hisab dan rukyat.
Sudah dari ratusan tahun yang lalu, perdebatan mengenai perbedaan penentuan awal dan akhir bulanMetode rukyat, umumnya dipakai oleh masyarakat muslim seperti NU serta ormas-ormas lain yang sehaluan, juga oleh pemerintah. Sedangkan metode hisab dipakai oleh ormas Islam modernis seperti Muhammadiyah.
Bukan hanya alasan dalil, kriteria derajat tingginya bulan juga menjadi penentu apakah bulan baru sudah masuk atau belum. Kini, berdasarkan kesepakatan MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura) tahun 2021, ketinggian hilal adalah 3 derajat.
Jika mengacu kepada dalil-dalil yang ada, baik Al-Qur'an maupun Hadis, maka penetapan awal dan akhir Ramadhan diperintahkan untuk melakukan rukyatul hilal. Antara lain Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 185, "... Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah ...."
Dalam ayat itu kata yang dipakai adalah syahidah, menyaksikan. Apakah di sini menyaksikan dengan mata kepala, atau dengan pengetahuan? Mungkinkah kata syahid ataukah syahidah juga bisa ditafsirkan menyaksikan dengan pengetahuan?
Jawabannya adalah sangat mungkin. Sebab dalam syahadat pun, bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah bukan dilakukan dengan mata kepala, tetapi pengetahuan akan adanya Dzat yang menyebabkan segalanya tercipta, dari pengetahuan itu timbul keyakinan bahwa Tuhan itu ada.
Namun jika ditilik dari redaksi hadis, makna yang diberikan adalah melihat dengan mata kepala. Misalnya hadis riwayat Ibnu Umar yang terdapat dalam kitab Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani:
"Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Apabila kalian melihat Hilal maka berpuasalah dan apabila kamu melihat Hilal maka berbukalah. Jika mendung menutupi kalian (dalam melihat Hilal) maka genapkanlah. "' (Muttafaq 'alaih), sedangkan di dalam riwayat Muslim disebutkan, "Jika mendungi menutupi kalian maka genapkanlah menjadi tiga puluh hari." Dan dalam riwayat al-Bukhari disebutkan, "Maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari"
Imam Ibnu Hajar menambahkan, bahwa dalam kitab Bukhari riwayat Abu Hurairah, "... maka genapkanlah Syakban menjadi 30 hari."
Kata yang digunakan dalam hadis itu sepadan dengan 'menyaksikan' (syahidah) adalah ra'aiytu, asal katanya adalah ra'a, kemudian menjadi istilah yang dipakai dalam metode penetapan awal bulan ramadhan menjadi ru'yah (rukyatul hilal), istilah ini digunakan juga dalam hadis lain yang redaksinya mirip dengan hadis yang diketengahkan di atas (tentang penggenapan syakban menjadi 30 hari apabila hilal tidak terlihat).
Mengutip Lisanul Arab Ibnu Mandzur, Yazid Muttaqin di website NU Online membeberkan makna kata ru'yah yang berarti melihat dengan mata kepala, dibedakan dengan kata ra'yi yang berarti melihat dengan pengetahuan:
"Bila dalam bentuk kata kerja kata ra'a--yara berarti melihat, maka dalam bentuk masdar masing-masing memiliki arti 'melihat' dengan klasifikasi tertentu. Ru'yah itu melihat dengan mata kepala. Sedangkan ra'yun melihat dengan ilmu, dengan pikiran."
Sementara menurut pakar falak Muhammadiyah, Oman Faturrahman, yang dikutip Ilham di situs muhammadiyah.or.id menyebutkan bahwa hadis tentang melihat bulan mengandung ilat, yaitu metode tersebut digunakan di zaman Nabi Muhammad sebab masyarakat belum mengenal baca tulis dan hisab.
Maka hadis itu, tepatnya pada redaksi, "Jika hilal di atasmu terhalang awan, maka estimasikanlah," tegas Oman, dapat diperluas maknanya menjadi: estimasi atau perhitungan dapat dilakukan meski pandangan tidak tertutup awan, karena pergerakan bulan sudah dapat dihitung dengan bantuan sains, yaitu sistem perhitungan astronomi.
Sehingga dengan menghitung (hisab), pergerakan bulan sampai beratus-ratus tahun ke depan pun dapat diperkirakan secara akurat. Bukan hanya itu, kapan metode hisab dan rukyatul hilal berbeda dapat diketahui lewat metode ini.
Dasar dari metode hisab sendiri ada pada Q.S. Yunus (10) ayat 5:
"Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui."
Juga Q.S. Ar-Rahman (55) ayat 5, "Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan." Dua ayat ini dinilai menjadi dasar absahnya penggunaan metode hisab. Meskipun dalam kajian bahasa, tidak mengena pada arti harfiah rukyat sebagaimana sudah dijelaskan di atas.
Selanjutnya, metode hisab terbagi dua, yakni imkanur rukyat, dan wujudul hilal. Metode yang disebutkan kedua yang menurut Ilham lebih meyakinkan, sebab tidak lagi berpatokan pada kriteria ketinggian derajat bulan. Apabila posisi bulan sudah sejajar dengan matahari (konjungsi) sebelum matahari terbenam, maka jangankan 3 derajat, nol koma sekian derajat pun tandanya bulan baru sudah dimulai.
Jadi, mengapa kita harus tetap meneropong bulan, atau melakukan rukyatul hilal padahal metode hisab sudah memungkinkan untuk mengetahui siklus perputaran bulan?
Jawabannya karena belum ada titik temu yang bisa mempersatukan kedua paradigma berbeda ini--serta lebih ditekankan untuk mengikuti pemerintah yang dalam hal ini tetap menggunakan metode rukyatul hilal.
Yang satu ingin mempertahankan makna asli suatu teks berdasarkan latar kemunculannya. Yang satunya lagi ingin melihat teks secara lebih luas dan lebih dialektis terhadap perkembangan yang ada.
Sesungguhnya kriteria 3 derajat oleh MABIMS dimaksudkan untuk menengahi perbedaan antara keduanya. Namun kenyataannya bukan soal kriteria derajat, tetapi memang perbedaan itu sulit dielakkan, dan kita hanya bisa menghormati antara keduanya.