Menghadapi Kelahiran Anak di Malam Ramadan
Dan kalau istri saya tetap dirawat, maka mereka hanya akan memasangi infus, belum langsung ditangani, sampai dokter masuk di pagi harinya, dan mungkin langsung menempuh jalan operasi.
Sedang waktu kini menunjukkan pukul 02:00 dinihari. Istri saya sudah kesakitan, darah terus mengucur. Akhirnya saya putuskan, meski agak jauh, menuju ke rumah sakit yang disarankan, yaitu Rumah Sakit Samaritan.
Sampai di sana, istri saya langsung ditangani oleh seorang perawat bertubuh kecil, ramping, berjilbab, dan lincah. Ia dengan cepat memeriksa keadaan istri saya, bertanya, lalu menyuruh istirahat.
Saya juga mendengar ia menelpon dokter yang kerap kami datangi untuk kontrol kandungan. Dan saran dari dokter kepada perawat itu, ditangani saja dulu, jika memang tidak bisa, maka paginya dokter itu sendiri yang akan melakukan operasi sesar.
Pukul 03.00 dinihari, tatkala masjid terdekat memperdengarkan seruan untuk bangun sahur, istri saya mulai mengejan sangat teratur tiap semenit sekali. Dua orang perawat berjilbab, dan satu lagi tidak berjilbab, mempersiapkan proses kelahiran.
Di sinilah momen menegangkan bagi saya yang mendampingi istri menghadapi persalinannya. Proses persalinan pun dimulai. Perawat menginstruksikan istri saya untuk mendorong. Ikuti rasa sakit dan mengejan kuat-kuat.
Namun beberapa kali mencoba, tetap saja gagal. Bayi belum bisa dikeluarkan, masih ada bagian dari plasenta yang agak menghalangi pundak bayi sehingga belum bisa lahir.
Pukul 04:00 atau sejam lamanya mencoba mendorong bayi keluar, akhirnya istri saya kelelahan. Perawat menyarankan ia memiringkan badan ke kiri. Air mata saya menitik ketika sang perawat memberitahu istri saya:
"Ibu, usahakan kuat mendorong, ya? Kalau tidak, nanti bayinya tidak menangis. Usahakan adik ini bisa lahir sebelum jam 6."
Istri saya hanya bisa menahan sakit, saya mematung di sampingnya. Dua perawat berjilbab pamit sebentar untuk makan sahur. Satu perawat lainnya, yang tak berjilbab, duduk menunggui istri saya, mengamati jika proses persalinan sudah boleh dilanjutkan.
Istri saya pun menyuruh saya untuk bersahur. Waktu itu hanya ada biskuit gabin dan beberapa butir kurma. Suasana hati saya sangat tidak mendukung, tidak ada selera karena perasaan masih tegang. Tetapi akhirnya saya memampukan diri, sebiji kurma dan sepotong biskuit akhirnya saya lahap bersama beberapa teguk air mineral.