Finansial Sehat ala Cak Nun: Berhenti
Cak Nun (Emha Ainun Najib), dalam menulis esai, selalu memberikan perspektif yang 'lain' dari cara berpikir orang kebanyakan. Ia juga melihat posisi yang kontra dari sebuah sudut pandang.
Meskipun tidak harus selalu baru, keterampilan dalam memainkan sudut pandang ala Cak Nun menjadikan pemikirannya tetap segar, meski itu diproduksi sejak puluhan tahun yang lalu.
Penerbit Bentang Pustaka pada pengantar buku kumpulan karya Cak Nun, "Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai", sempat mengkhawatirkan kontekstualisasi tulisan-tulisan lama yang akan diterbitkan, apakah masih relevan di hadapan pembaca zaman kini?
Namun, rupanya tulisan-tulisan Cak Nun tidak termasuk di dalam kekhawatiran itu. Tetap saja, keterampilan Cak Nun membuat tulisan-tulisannya masih kontekstual dengan masalah hari ini.
Selain gaya menulis yang memperkarakan kenyataan, kepiawaian dalam memosisikan diri dalam suatu perspektif itu menjadi kekhasan Cak Nun, yang tidak terdapat pada penulis-penulis yang lain.
Perspektif yang menjadi kekhasan Cak Nun itu dapat kita baca, misalnya, dalam esainya yang berjudul "Puasa: Menuju Makan Sejati", yang menjadi satu bagian di dalam bukunya, Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai.
Kita tahu bahwa puasa dan makan adalah dua kutub yang berlawanan. Puasa itu berarti meninggalkan--salah satunya--makan, dan sebaliknya, makan itu berarti meniggalkan puasa (di siang hari).
Tetapi Cak Nun membuat kutub berlawanan itu menjadi dua sikap yang punya kesamaan hakikat. Puasa berarti menahan hawa nafsu demi makan yang sejati. Makan sejati dibedakan dengan makan yang tampak, yaitu tindakan mengonsumsi barang-barang yang sifatnya materi.
Makan sejati tidak lain adalah menggapai tujuan dari diciptakannya kehidupan. Di mana tujuan dari makan manusia sehari-hari adalah mempertahankan kehidupan makhluk yang bukan hanya berupa jasad materil ini, tetapi juga makhluk ruhani yang menempuh jalan pulang menuju ilahi.
Orang-orang seringkali menganggap bahwa pengejar-pengejar uang adalah "hamba perut". Kata Cak Nun, gara-gara itu kita jadi menabukan perut. Seolah-olah keseluruhan sikap kita yang mencari keuntungan materi selamanya demi melayani kehidupan perut.