Mengakali Puasa dengan Tamasya Kemegahan
Mengapa pada akhirnya saya memutuskan untuk berhenti dari suatu even ramadan, yakni mengikuti seluruh tantangan membuat tulisan mengenai tema ramadan yang ditentukan setiap harinya?
Karena saya terbentur pada satu tema yang sangat bertentangan dengan idealisme saya. Yaitu, tatkala nuansa kemegahan berupaya diketengahkan dalam mengisi ramadan, dalam bentuk cerita-cerita mengenai tamasya ke tempat-tempat persinggahan berbayar mahal, mewah, dijadikan tema untuk diperlombakan, dan tulisan pemenag lomba mendapat hadiah fantastis.
Mengapa saya keberatan dengan tema seperti itu? Setidaknya ada tiga alasan:
Pertama, tidak semua orang mampu melakukan tamasya ke tempat-tempat yang indah, bersejarah, apalagi di dalamnya memuat tentang tempat persinggahan atau tempat menginap yang berbayar mahal, karena kemewahan dan kemegahannya. Hal ini sangat mengusik rasa kemanusiaan saya terhadap mereka (penulis-penulis) yang tidak mampu melakukan hal itu.
Lagipula even ini dibuka untuk umum. Kita tahu, di balik kata 'umum' itu terdapat golongan yang tidak akan bisa mengikuti tema tulisan itu disebabkan keuangan mereka yang tak mendukung untuk melakukannya. Juga pengalaman mereka dalam menjamah tempat-tempat yang merupakan afiliasi sponsor penyelenggara even itu.
Orang-orang yang tak punya pengalaman wisata kemegahan, apalagi pada tempat-tempat yang telah ditentukan karena afiliasinya dengan sponsor even lomba, tentu ini akan dengan sendirinya menggugurkan mereka, yang telah disebutkan, dari perlombaan.
Kedua, kemegahan itu sendiri, selain identik dengan diskriminasi terhadap kelas sosial tertentu, juga sesungguhnya merupakan hal yang dianjurkan untuk dijauhi dalam agama. Coba perhatikan Q.S. At-Takatsur (102) ayat 1 - 2:
"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur."
Dan benar saja, terbiasa dengan kemewahan akan membuat lupa pada kehidupan orang-orang kecil. Dalam hal ini, penulis-penulis yang tidak memiliki akses terhadap tempat-tempat tamasya megah yang telah tercantum dalam ketentuan lomba, cenderung tidak diuntungkan.
Terbiasa dengan kemewahan dan kemegahan itu akan membuat diri senantiasa butuh dimanjakan, cerita-cerita mengenainya hanya akan dimengerti oleh orang-orang yang juga hobi terhadap kemewahan dan kemegahan, namun tidak akan nyambung bagi kalangan masyarakat bawah.
Keterbiasaan itu akan membuat lalai, lupa karena sudah terbiasa dengan hal itu-itu juga, sampai tiba saatnya mangkat dari dunia dan masuk ke alam kubur. Selama kehidupan berlangsung, selama itu pula kemegahan membuat lalai dari menengok ke kehidupan masyarakat kelas bawah yang tak sanggup menikmati kemegahan.
Ketiga, mengapa di bulan ramadan orang-orang beriman diperintahkan untuk menahan lapar dan haus, serta terdapat perintah berzakat? Sebab salah satunya, ramadan dimaksudkan membuat kita merasakan penderitaan fakir miskin.
Namun apa yang terjadi pada even ramadan yang saya maksudkan? Tema tamasya ke tempat-tempat mahal, tempat inap yang berafiliasi terhadap sponsor tertentu, seolah akan menjauhkan kita dari rasa solidaritas terhadap kelompok masyarakat yang tidak mampu. Apalagi lomba ini bertajuk ramadan.
Sebenarnya bukan pada tema kali ini saja, tema-tema sebelumnya saja sudah mengarahkan kita--menurut hemat saya--untuk memikirkan kemegahan. Misalnya, di antaranya ada tema yang mengangkat tentang baju tarawih yang rekomended, atau ide tentang pilihan baju lebaran.
Apa yang terbayang jika disodorkan tema-tema seperti itu? Sudah jelas kita akan berpikir bahwa baju tarawih dan baju lebaran idealnya yang lagi trend, baru, mewah, bagus, dan mungkin mahal. Ketimbang misalnya kita mengajukan baju yang sederhana, 'yang ada di lemari'--seperti yang diajukan oleh beberapa partisipan lomba itu, tawaran itu akan kurang menarik, berpotensi mendapat nilai rendah.
Belum lagi soal kuliner buka puasa sekalian dengan adegan video pembuatannya, serta inspirasi kue lebaran, yang akan membuat kita berimajinasi tentang keidealan makanan-makanan yang dimaksud. Yang pada intinya kita akan secara tak sadar menyimpulkan bahwa yang megah, mahal, unik, itulah yang akan mendapat nilai tinggi.
Pertanyaan besar saya, mengapa tema-tema konsumtif (meliputi makanan, pakaian, dan tempat-tempat tamasya) seperti itu disajikan di bulan yang di dalamnya kita ditahan untuk membatasi konsumsi?
Mengapa tak ada tema tentang rekomendasi bacaan; atau mengisahkan kemiskinan di wilayah kita, serta saran-saran yang konstruktif; atau mengenai fenomena sampah dan penanganannya; atau mengenai kritik atas keborosan masyarakat di bulan ramadan; atau mengenai toleransi antar pemeluk agama; serta hal-hal yang konstruktif lainnya?
Pada akhirnya saya berkesimpulan bahwa, pantasnya saya berhenti saja dari even ramadan yang isinya membuat tulisan mengenai ramadan pada setiap harinya itu. Saya melihat bahwa even itu mengarahkan saya untuk mengakali puasa dengan inspirasi hiburan yang datang dari kita para kontributor.
Saya pada akhirnya tidak melihat pada lomba itu sejalan dengan spitit ramadan, di mana kita idealnya memberi inspirasi lewat tulisan-tulisan tentang ramadan yang menjadi bulan berkah bagi semua orang, terlebih lagi terhadap kaum miskin. Bukan hanya berkah bagi mereka-mereka yang berada.
Soalnya puasa ini diperintahkan, salah satunya, agar tumbuh rasa solidaritas terhadap orang-orang yang kurang mampu secara ekonomi.