Plastik dan Komitmen Kesalehan Lingkungan
Mari bicara soal plastik dan kesalehan lingkungan. Duh, njlimet amat???
Agh, bukankah problem sampah sendiri sudah njlimet, senjlimet para pemangku kebijakan mencari solusinya. Siapa menyangasikan betapa heroiknya kepemimpinan Ibu Susi Pujiastuti di Kementerian Kalutan dan Perikanan, toh beliau juga pusing dan marah menyaksikan serakan sampah plastik di pantai yang indah.
Pastinya, kesadaran memperlakukan sampah dengan benar haruslah berangkat dari kesadaran moral. Nilai-nilai agama bisa menjadi penyuplai kesadaran moral dimaksud, kesadaran atas lingkungan.
Yang kedua, sikap beragama kita sudah semestinya berpijak pada landasan pondasional yang kokoh. Sebab, pikiran dan keyakinan yang benar mengandaikan sikap hidup yang benar. Konsep kesalehan lingkungan berangkat dari dilemma yang sama dengan kesalehan sosial, bahwa komitmen kita dalam beragama semestinya tidak hanya memanfati diri, tetapi juga maslahah, menjadi rahmat bagi sekitar, rahmatan lin alamin.
Dalam Alquran, ada dua tugas dan peran yang melekat dalam penciptaan manusia. Pertama, sesuai fitrahnya yang lemah, maka setiap manusia sejatinya berkebutuhan untuk menyembah Tuhan, beribadah. Kedua, manusia juga mengemban peran dan tugas sebagai khalifatullah fil ardl, sebagai khalifah, wakil Allah di bumi, diberi mandat dan kewenangan untuk mengelola dan memakmurkan bumi.
"Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya". (QS. Hud [11]: 61).
Memakmurkan bumi tidak hanya bermakna mengambil kemanfaatan darinya, apalagi secara eksploitatif. Lebih dari itu, adalah bagaimana menjaga kelestarian bumi guna menjamin kelangsungan kehidupan manusia kini dan nanti. Sebagai Mangkubumi, relasi manusia dengan alam semestinya dalam kerangka saling menjaga kehidupan.
Nah, permasalahannya, perilaku manusia justru menjadi salah satu pemicu kerusakan lingkungan. Alih-alih berpikir untuk masa depan anak cucunya, banyak tangan-tangan jahil yang turut serta merusak kualitas planet yang mereka huni.
Tidak hanya efek rumah kaca yang memicu pemanasan global, di mana dampaknya sudah dirasakan manusia lewat serangkaian anomali iklim. Lebih dari itu, ada problem sampah plastik yang kini secara massif telah mencemari sungai dan lautan di dunia. Padahal, sungai dan laut adalah sumber kehidupan yang mesti dirawat untuk kelangsungan kehidupan manusia itu sendiri.
Problemnya, produksi dan konsumsi sampah plastik terus meningkat dalam beberapa decade terakhir. Saat ini, kota-kota di dunia disebut telah menghasilkan sampah plastic hingga 1,3 miliar ton setiap tahunnya. Jumlah itu bahkan berpotensi meningkat hingga 2,2 miliar ton di 2025, sesuai prediksi Bank Dunia.
Di lautan, cemaran sampah plastik mencapai angka 10 hingga 20 juta ton pertahunnya. Hasil sebuah studi juga menyebutkan perkiraan jumlah sampah plastic yang mengapung di lautan saat ini mencapai 5 triliun partikel dengan berat 268.940 ton. Pencemaran itu telah menyebabkan kerusakan ekosistem laut.
Ironisnya, Indonesia ada dalam daftar pemasok sampah plastik ke laut terbesar dunia. Setiap tahun, lebih dari 3 juta ton plastik dikirim ke lautan, menjadikan Indonesia sebagai Negara penyumbang sampah plastik ke lautan terbesar kedua, hanya kalah dari China. Artinya, Indonesia sudah darurat sampah plastik, kenyataan yang juga diamini pemerintah.
Sayangnya, ikhtiar membangun kesadaran lingkungan, bukanlah pekerjaan mudah. Butuh waktu, butuh proses. Maka mustahil membebankan tanggung jawab itu hanya kepada pemerintah. Ini problem kolektif yang penananganannya harus dikeroyok secara berjamaah. Kalangan agama menjadi salah satunya. Setelah kesalehan sosial, kesalehan lingkungan juga harus terus dikampanyekan di mimbar-mimbar dakwah. Bangun dulu narasi besarnya melalui konsep kesalehan lingkungan yang berpijak pada peran dan tugas manusia sebagai pemakmur bumi.
Selanjutnya, lembaga-lembaga agama, seperti MUI, ormas Islam, dan ormas agama lain sudah saatnya menerbitkan fatwa-fatwa hukum tentang lingkungan. Yang ketiga, buatlah gerakan-gerakan aksi nyata, sekecil apapun itu, tetapi terus dijaga konsistensinya. Bila perlu, buatlah pilot project penanganan sampah plastik di sekolah-sekolah dan pondok pesantren.
Sebagai penjaga bumi, setiap umat beragama sudah semestinya memiliki komitmen untuk menyelamatkan planet ini dari kerusakan yang semakin eksplosif. Setiap orang tua, didiklah anak-anak dengan keteladanan tentang bagaimana merawat lingkungan, bagaimana memperlakukan sampah, termasuk plastik. Jangan biarkan anak-anak kita membuang plastik seenaknya di tengah jalan, di sungai atau di pantai.
Miris setiap kali melihat sampah plastik tiba-tiba terlempar dari kaca mobil. Mari kurangi sampah plastik dari sumbernya. Jika ke warung atau minimarket, barang yang dibeli masih sanggup dibawa tangan, tak usahlah minta kantong plastik. Mari berpikir untuk masa depan planet biru, masa depan anak-anak cucu kita kelak. Sejak moderinisme digulirkan, manusia sudah sedemikian banyak berkontribusi atas rusaknya lingkungan, maka jangan diperpanjang. Karena bumi yang tak dikelola dengan baik akan menjelma menjadi bencana bagi penghuninya.
"Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS Ar Ruum:41)