Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Editor

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

Karena Merawat Keragaman Tak Cukup dengan Jargon

30 Mei 2019   23:00 Diperbarui: 30 Mei 2019   23:26 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PUASA Ramadhan adalah ibadah yang memiliki kedudukan istimewa di hadapan Allah SWT.  Dalam sebuah hadits qudsi popular, Tuhan menegaskan hal itu.

"Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta'ala berfirman (yang artinya), "Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya....(HR. Bukhari)

Menyimak urutan makna dalam hadits itu, maka Allah seolah ingin menegaskan, bahwa puasa itu lepas dari hitung-hitungan ganjaran pada umumnya ibadah lainnya. Maka puasa adalah ibadah kualitatif, karena Allah sendiri yang akan menilai dan mengganjarnya. Selain diri dengan Tuhan, siapa yang benar-benar tahu kalau kita berpuasa. Maka tidak hanya sifatnya sangat privat dan sarat keintiman hamba dengan Tuhannya, tetapi puasa juga menekankan aspek kualitatif ketimbang kuantitasnya.

Dengan prinsip demikian, rasanya tidak cukup iman dibuktikan dengan pengakuan. Iman haruslah terlibat dan melibatkan diri terhadap problem sosial manusia. "Tidak beriman seseorang di antara kalian sampai engkau mencintai saudaramu seperti mencintai diri sendiri". Itu sebabnya, kata iman seringkali dilekat-pasangkan dengan kata amal shalih, agar iman tak berhenti pada ucapan dan keyakinan.

Bagaimana dengan toleransi, sebuah komitmen dan sikap proaktif yang memaknai perbedaan sebagai keniscayaan sekaligus ihtiar merawat fakta keragaman itu sendiri. Dalam beberapa ayat Alquran, Allah menegaskan bagaimana keragaman itu adalah sunnatullah, ketetapan Allah yang fitrah. Jikalah Allah menghendaki, bisa saja manusia dijadikan satu, seragam, semuanya beriman dan beragama tunggal. Karena itu, keragaman ada tidak hanya untuk diamini, tetapi juga dirawat bersama agar menjadi rahmat.

Nah, belajar dari prinsip ibadah puasa yang menekankan aspek kualitas, maka komitmen dan ikhtiar merawat keragaman itu semestinya tidak berhenti pada kampanye jargonik. Konon, Indonesia adalah jagonya bikin konsep dan jargon, tetapi dengan implementasi yang senjang. Kurang fasih apa Bung Karno dengan Pancasila dan UUD 1945, tetapi sebagai salah satu perumus konsep kebangsaan brilian itu, Bung Karno justru harus turun dari kekuasaan karena dinilai melenceng dari Pancasila.

Orde Baru pun muncul dengan doktrin melaksanaan Pancasila dan UUD secara murni dan konsekuen. Lagi-lagi, Soeharto diturunkan karena dinilai melenceng jauh dari falsafah Pancasila. Pun Orde Reformasi, entah sudah berapa banyak suara yang menuntut dikembalikannya arah pembangunan bangsa kepada Pancasila dan terutama UUD 1945 yang asli. Kalau makalah yang mengkaji kehebatan Pancasila dihimpun dan ditumpuk, mungkin tingginya sampai langit ketujuh. Tetapi ya itu, derajatnya mungkin masih tak beranjak pada jargon, sementara pelaksanaannya jauh panggang dari api.

Lantas, bagaimana agar ikhtiar merawat dan menyemarakkan keragaman ini berjalan secara baik dan berkualitas. Pertama, tahu saja tidak cukup. Kita semua tahu dan mungkin sangat fasih menderas detail kenaragaman Indonesia, tetapi apakah pengetahuan itu sudah melahirkan kesadaran untuk merawatnya. Bahkan, tidak ada jaminan mereka yang getol meneriakkan toleransi, laku hidup kesehariannya juga toleran.

Kedua, konsep sebesar dan sehebat apapun haruslah dimulai perwujudannya dari yang terkecil. Rumusnya, rampungkan dulu hal-hal kecil, baru engkau bicara hal besar. Tanyalah batin kita, sudahkah kita toleran terhadap fakta perbedaan di lingkungan keluarga, di lingkungan sekitar, di jalanan? Kita harus malu meneriakkan pentingnya toleransi jika perilaku kita di jalan raya masih membuat banyak pengendara tak nyaman, jika ucap dan laku kita membuat tetangga tak tenang.

Maka sebelum kita bicara tentang pentingnya toleransi dengan pihak luar, ada baiknya tunaikan dulu sikap itu di internal. Sebagai Muslim dengan latar belakang afiliasi madzhab hingga ormas yag berbeda-berbeda, sudahkah kita mampu menempatkan saudara Muslim lain yang tak selembaga, tak semadzhab, tak seormas, dalam tempat yang terhormat? Kalau di level ini saja belum tuntas, maka ada potensi menyuarakan toleransi sebagai sensasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun